Apa itu Subsidensi Gambut dan Bagaimana Negara-Negara Dapat Mencegah Bencana Lingkungan ini?
Gambut merupakan salah satu ekosistem paling berharga di Bumi. Ekosistem yang kaya akan karbon ini dapat ditemukan di sekitar wilayah berawa di seluruh dunia, menyimpan hampir sepertiga karbon daratan dunia, menjadi habitat untuk satwa liar dan memainkan peran penting dalam pengelolaan air. Gambut juga menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat melalui kegiatan pertanian dan produk alami yang dihasilkan, seperti tanaman obat atau madu. Sayangnya, gambut rentan terhadap gangguan, baik yang disebabkan oleh aktivitas alam maupun manusia.
Salah satu masalah terbesar adalah"Penurunan gambut”, yaitu penurunan permukaan tanah di mana permukaan bumi bergerak turun akibat hilangnya materi di bawah permukaan tanah. Kebanyakan orang lebih mengenal konsep penurunan tanah dalam kaitannya dengan tanah mineral. Sebagai contoh, penurunan tanah dianggap sebagai penyebab tenggelamnya kota-kota besar seperti Jakarta di Indonesia.
Penurunan gambut memicu sejumlah masalah lingkungan, termasuk banjir dan kehilangan produktivitas lahan, serta berhubungan erat dengan emisi karbon dioksida. Masalah ini masih belum mendapat banyak perhatian dan sering dianggap sebagai "bencana tersembunyi". Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mencari cara untuk melindungi gambut.
Penyebab Penurunan Gambut
Penyebab utama penurunan gambut adalah hilangnya air tanah dari ekosistem yang tergenang secara alami, terutama akibat pembangunan saluran drainase. Sistem drainase yang intensif biasanya digunakan agar gambut dapat ditanami dengan tanaman pertanian dan untuk memfasilitasi kegiatan transportasi. Namun, kegiatan ini menyebabkan penurunan kedalaman muka air tanah, sehingga tanah gambut menjadi kering dan terurai dengan lebih cepat. Akibatnya, lapisan gambut yang sebelumnya berair menjadi terpapar oksigen, sehingga aktivitas mikroba dan oksidasi biologis endapan organik meningkat. Oksidasi gambut akhirnya menyebabkan kehilangan karbon secara signifikan, yang mengakibatkan penurunan.
Data dari lahan gambut di dataran tinggi yang sudah dikeringkan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat menunjukkan perlambatan laju penurunan tanah dari sekitar enam sentimeter per tahun segera setelah pengeringan menjadi sekitar satu hingga tiga sentimeter per tahun setelah satu abad. Sementara itu, penurunan gambut secara kumulatif yang dilaporkan di lahan gambut tropis di Asia Tenggara jauh lebih tinggi. Laju penurunan bisa mencapai 1,5 meter dalam lima tahun pertama, di mana 0,75 meter penurunan terjadi dalam setahun setelah pengeringan. Laju penurunan gambut rata-rata akan berkurang seiring berjalannya waktu setelah pengeringan, dan rata-rata dilaporkan sekitar dua hingga enam sentimeter per tahun. Salah satu indikasi penurunan gambut di lapangan adalah terlihatnya sistem akar.
Penurunan gambut juga dipicu oleh kombinasi beberapa proses seperti pemadatan tanah dengan peralatan berat, pembangunan pemukiman dan jalan, penyusutan akibat penyusutan serat organik dalam proses pengeringan serta konsolidasi akibat kehilangan air dalam pori-pori gambut. Penurunan gambut juga disebabkan oleh dekomposisi dan kompresi volume gambut akibat kebakaran gambut. Studi tahun 2019 oleh WRI Indonesia menunjukkan bahwa kebakaran gambut di Sumatera Selatan menyebabkan hilangnya lapisan gambut sebanyak 10 sentimeter. Namun, laporan dari peristiwa kebakaran lain di Indonesia menunjukkan kehilangan lapisan sebanyak 50 sentimeter.
Dampak Penurunan Gambut
Penurunan gambut mengakibatkan berbagai masalah lingkungan. Penurunan gambut meningkatkan potensi banjir, mengurangi penyimpanan air tawar akibat intrusi air laut serta merusak bangunan, jalan dan infrastruktur lainnya. Karena penurunan gambut juga meningkatkan risiko banjir di lahan gambut, produktivitas lahan juga menurun sehingga lahan gambut tidak dapat digunakan untuk budidaya. Selain dampak langsung ini, penurunan gambut juga menyebabkan kerugian ekonomi, seperti kerusakan bangunan, jalan rusak, kerugian produktivitas lahan dan tanaman serta biaya adaptasi dan mitigasi yang dihasilkan.
Penurunan gambut juga dapat mengubah karakteristik fisik permukaan gambut sehingga menyebabkan banjir. Setelah beberapa dekade penurunan, dan jika tidak ada langkah pencegahan untuk menghentikan atau memperlambat proses ini, posisi gambut yang terpengaruh akan semakin rendah. Ketika ini terjadi, air hujan akan menggenang di area gambut, menyebabkan banjir musiman. Selain itu, permukaan lapisan gambut juga akan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan permukaan air sungai atau laut di sekitarnya. Akibatnya, seiring berjalannya waktu, permukaan gambut akan menjadi lebih rendah daripada tinggi permukaan air sungai dan/atau laut. Dalam tahap ini, gambut telah mencapai batas drainabilitas, di mana gambut tidak dapat lagi dikeringkan oleh gravitasi dan akhirnya menjadi terendam secara permanen.
Kerusakan ini akan semakin diperburuk oleh dampak perubahan iklim, akibat kenaikan permukaan air laut dan efek pola hujan baru yang dapat meningkatkan risiko banjir di dataran rendah, terutama lahan gambut yang dekat dengan laut. Penurunan gambut pesisir yang dibarengi dengan kenaikan permukaan air laut akan mengurangi wilayah daratan secara signifikan.
Hal ini telah terjadi di beberapa tempat seperti Pulau Bengkalis, sebuah pulau di Indonesia yang sekitar 89 persen luasannya terdiri dari gambut. Antara 2014 dan 2020, laju perubahan garis pantai mencapai sekitar 3,3 hingga 4,9 meter per tahun akibat penurunan gambut dan erosi gambut pesisir yang terjadi di pulau tersebut.
Penting untuk diingat bahwa lahan yang tergenang juga tidak lagi dapat digunakan untuk pertanian karena tanaman pertanian sensitif terhadap banjir. Degradasi lahan gambut dan kerugian produktivitas lahan akibat penurunan gambut kemudian dapat memengaruhi mata pencaharian masyarakat. Sebuah studi di Indonesia menyebutkan bahwa setiap rumah tangga menderita kerugian rata-rata sekitar US$79 akibat penurunan gambut. Ini disebabkan oleh kehilangan sumber mata pencaharian mereka, seperti pohon kelapa dan sawit. Dengan laju penurunan mencapai 4,2 sentimeter per tahun di gambut yang terganggu, kerugian lahan akibat penurunan dan banjir setara dengan kerugian layanan penyediaan di masa depan yang bisa mencapai $178 per hektar.
Penurunan gambut juga merusak bangunan dan infrastruktur yang menyebabkan bangunan miring serta dapat merusak jalan-jalan. Di Belanda, penurunan gambut diperkirakan akan menyebabkan kerugian sekitar EUR22 miliar ($23,5 miliar) akibat kerusakan infrastruktur dan bangunan antara tahun 2016 dan 2050.
Bagaimana Negara-Negara Dapat Mengurangi Risiko Ini?
Untuk mengurangi risiko bencana terkait dengan penurunan gambut, langkah adaptasi dan mitigasi harus diambil secara bersama-sama. Tindakan harus diambil berdasarkan penilaian laju penurunan gambut untuk mencegah penurunan lebih lanjut dan melestarikan hutan gambut yang tersisa.
Berbagai metodologi – dari yang sederhana hingga canggih – dapat digunakan untuk mengukur pergerakan penurunan gambut. Metode yang paling sederhana dan banyak digunakan adalah menggunakan pipa berongga (PVC) yang dimasukkan secara vertikal ke dalam gambut dan diikatkan ke lapisan mineral yang ada di dalamnya untuk dipantau dalam periode waktu tertentu (per bulan, per tahun, dsb.). Penginderaan jarak jauh juga dapat digunakan untuk memantau penurunan gambut. Metode pemantauan jarak jauh menggunakan data satelit akan menghasilkan pengukuran penurunan gambut yang lebih akurat serta meminimalkan kebutuhan pengukuran di lapangan. Metode ini dapat diterapkan di lahan dengan berbagai jenis penggunaan lahan dan di lahan gambut yang lebih luas.
Metode lain yang menggunakan kamera time lapse telah dikembangkan oleh Center for Ecology and Hydrology Inggris. Dengan metode yang cukup murah ini - sekitar £500-650 ($615-800) per unit, perubahan elevasi gambut dalam skala kecil dapat diukur dari waktu ke waktu dengan menggunakan kamera yang umumnya digunakan untuk memantau aktivitas satwa liar. WRI Indonesia menggunakan metode yang baru diperkenalkan pada tahun 2020 ini. Meskipun telah banyak dibahas dalam jurnal-jurnal internasional dan prosiding serta diterima dan diakui oleh komunitas akademik, di Indonesia metode ini masih perlu diperkenalkan kepada otoritas terkait gambut sebelum dapat diterapkan secara lebih luas. Terakhir, kesadaran terkait masalah penurunan gambut di antara otoritas publik dan pengguna lahan harus ditingkatkan dengan menekankan betapa mendesaknya dan pentingnya masalah ini agar kebijakan yang sesuai dapat segera dirancang.
Para pemangku kepentingan ini perlu lebih memperhatikan pemicu dan laju penurunan gambut untuk beradaptasi dengan dan mengurangi dampak penurunan gambut. Di Indonesia, sudah ada upaya untuk ini melalui platform data daring pemerintah yang disebut Pranata Informasi Restorasi Gambut.
Pengguna lahan juga memerlukan informasi lebih lanjut untuk mengelola gambut secara berkelanjutan. Membangun platform kemitraan untuk memastikan ketersediaan data, pendidikan, dukungan dan investasi yang dibutuhkan akan mendorong tindakan yang lebih mendesak. Sebagai contoh, WRI Indonesia memimpin konsorsium People for Peat untuk membangun basis data terintegrasi untuk pengelolaan penggunaan lahan gambut di negara-negara Asia Tenggara. Organisasi ini juga mendukung masyarakat dan perusahaan melalui suatu platform untuk mendorong ketersediaan lingkungan yang mendukung investasi berkelanjutan serta mengadakan berbagai acara keterlibatan (seperti simposium gambut regional, webinar dan acara desa) untuk meningkatkan kesadaran dan cara mengimplementasikan pengelolaan gambut yang berkelanjutan.
Dengan mengetahui dampaknya, dengan dukungan lebih kuat serta kolaborasi yang baik antara berbagai pemangku kepentingan, kita dapat melindungi lahan gambut di seluruh dunia dari penurunan. Yang paling penting, mengukur penurunan gambut dan kondisi gambut saat ini akan memastikan pengelolaan gambut yang lebih baik.