West Kalimantan, Indonesia. Photo credit: Beth Gingold/WRI
West Kalimantan, Indonesia. Photo credit: Beth Gingold, WRI

Data bersama dan definisi yang jelas, akan memungkinkan para pembuat kebijakan RSPO dan REDD+ untuk mencapai sebuah tujuan bersama: ekspansi kelapa sawit berkelanjutan di lahan yang terdegradasi di Indonesia.

Kalimantan Barat, Indonesia. Sumber foto: Beth Gingold, WRI.

Pada Mei 2010, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan kebijakan nasional untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di “lahan yang terdegradasi” – ketimbang di lahan gambut dan hutan – sebagai bagian dari rencana besar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi lahan (REDD+). Strategi REDD+ nasional Indonesia, yang telah terbuka untuk konsultasi publik, mencerminkan niat Presiden tersebut.

RSPO, yang memiliki lebih dari 350 anggota dari pemerintah, NGO, dan pelaku bisnis, telah mengembangkan sebuah standar prinsip dan kriteria untuk produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. Menurut RSPO, perkebunan baru di Indonesia tidak boleh menggantikan hutan primer atau mengurangi nilai konservasi hutan yang tinggi, sehingga harus menggunakan “lahan yang terdegradasi atau lahan yang telah terbuka sebelumnya

November ini akan dilakukan pertemuan RSPO di Jakarta, dan pada waktu yang bersamaan, para pembuat kebijakan REDD+ akan melanjutkan pengembangan kebijakan nasional mengenai lahan yang terdegradasi. Artikel ini menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dari kedua kelompok dan bertujuan untuk menyediakan titik awal faktual bersama untuk memajukan dialog mengenai kebijakan tersebut.

Siapa yang membuat keputusan?

Implementasi sebuah kebijakan nasional bagi Indonesia akan membutuhkan partisipasi yang efektif dari banyak pembuat kebijakan di pemerintah, perusahaan, dan masyarakat yang terlibat di dalam usaha perencanaan dan pengelolaan sektor kelapa sawit (Tabel 1). Perusahaan yang telah berkomitmen untuk usaha yang berkelanjutan, sesuai dengan RSPO, akan mendapatkan keuntungan dan dapat berkontribusi kepada usaha ini.

Tabel 1. Keputusan dan Para Pembuat Keputusan Penting
Keputusan Pembuat Keputusan
Pengembangan strategi nasional – Bagaimana menyeimbangkan prioritas nasional termasuk REDD+, ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, dan pelestarian keanekaragaman hayati? Pemerintah (nasional)
Perencanaan tata ruang – Wilayah mana saja yang cocok digunakan untuk ekspansi perkebunan dan aktivitas lainnya? Keputusan mencakup klasifikasi lahan secara hukum. Pemerintah (nasional/provinsi/kabupaten)
Perencanaan proyek – Proyek apa aja yang harus dilakukan di wilayah tersebut? Keputusan mencakup perizinan dan persetujuan yang bebas dan telah diberikan sebelumnya. Keputusan akan sangat dipengaruhi oleh faktor pasar. Pemerintah (lokal/kabupaten)
Komunitas
Perusahaan
Masyarakat
Tata kelola proyek – Bagaimana proyek diterapkan (berdasarkan kriteria dan prinsip RSPO atau kriteria pemerintah/hukum?) Perusahaan
Pegawai/UKM
Komunitas
Pengukuran, pelaporan & verifikasi, dan penegakkan – Bagaimana rencana/pengelolaan diawasi dan ditegakkan? Pemerintah (nasional/provinsi/kabupaten)
RSPO/badan-badan industri
Masyarakat

Untuk berpartisipasi secara signifikan dalam perdebatan kebijakan ini, para pembuat kebijakan di berbagai sektor harus memiliki pemahaman bersama terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sering ditanyakan di bawah ini:

  • Apa yang dimaksud dengan lahan yang terdegradasi?
  • Berapa banyak lahan yang terdegradasi yang terdapat di Indonesia?
  • Berapa besar ekspansi kelapa sawit yang diharapkan terjadi di Indonesia pada tahun 2020?
  • Bagaimana cara mengidentifikasi lahan-lahan yang cocok digunakan untuk ekspansi kelapa sawit yang berkelanjutan?
  • Apa yang dapat dilakukan agar para pembuat kebijakan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut?

Saat ini tidak tersedia data spasial yang mencukupi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Permasalahan ini dapat diatasi dengan pembentukan “database lahan yang terdegradasi” yang dapat dikembangkan di bawah kemitraan Indonesia-Norwegia mengenai REDD+, dan/atau melalui “mekanisme tata kelola data spasial” yang dijelaskan di dalam draf strategi nasional REDD+ Indonesia (Bagian 3.2.1, paragraf 1.C).

Apa yang dimaksud dengan “lahan yang terdegradasi”?

 

Wilayah yang telah terbuka di mana alang-alang dan pakis mendominasi bentang alam saat ini. (Foto: Sekala)

Dalam konteks mengembangkan kebijakan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi, lahan yang terdegradasi merujuk kepada wilayah-wilayah yang memiliki cadangan karbon rendah, biasanya dengan tutupan hutan yang rendah.

Tidak ada definisi tunggal yang disepakati secara internasional mengenai “lahan yang terdegradasi” dan tidak ada definisi yang terkait di dalam hukum dan kebijakan Indonesia. Ketidakjelasan definisi ini menghambat dialog kebijakan mengenai pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan (REDD+).

Degradasi lahan secara umum dipahami sebagai penurunan produktifitas alami lahan dalam jangka panjang yang disebabkan oleh aktivitas manusia.

Degradasi hutan secara umum merujuk kepada hilangnya manfaat yang diberikan oleh ekosistem hutan, salah satunya sebagai tempat penyerapan karbon.

Menurut draf kebijakan nasional REDD+ Indonesia:

 

 

“Degradasi merupakan perubahan di dalam hutan yang memiliki pengaruh negatif terhadap fungsi dan struktur lahan, sehingga mengurangi manfaat dan produksi hutan. Dalam konteks REDD+, degradasi mungkin dapat diinterpretasikan sebagai degradasi cadangan karbon hutan.”

 

 

Tidak ada tingkat degradasi cadangan karbon yang ditentukan secara spesifik.

Para pejabat pemerintah, perusahaan swasta, NGO, dan akademisi telah menggunakan terminologi “degradasi” dalam berbagai konteks untuk menjelaskan lahan dengan karakteristik yang beragam. Terminologi-terminologi umum yang sering digunakan untuk menjelaskan “lahan yang terdegradasi” mencakup:

  • Hutan yang terdegradasi (degraded forest) – berkurangnya kemampuan ekosistem hutan untuk memberikan manfaat, salah satunya sebagai tempat penyerapan karbon, yang disebabkan oleh penebangan hutan. NGO lingkungan dan para ahli ekologi khawatir jika konversi hutan dapat mengakibatkan emisi karbon yang signifikan sekaligus kehilangan manfaat lainnya seperti pelestarian keanekaragaman hayati.

  • Lahan tandus (marginal/waste land) – wilayah dengan produktifitas pertanian dan potensi ekonomi yang rendah. Perusahaan khawatir jika wilayah ini tidak akan menguntungkan secara finansial untuk dikembangkan.

  • Lahan terlantar (idle/unused/abandoned land) – wilayah yang kosong atau tidak digunakan secara produktif, biasanya dari perspektif hukum. Terminologi ini kontroversial karena penetapan status hukum wilayah tidak selalu memperhitungkan hak, penggunaan, dan klaim masyarakat lokal yang berlaku.

Di Indonesia, terminologi hukum yang terkait meliputi:

  • Lahan kritis – lahan yang ditetapkan secara hukum sebagai lahan yang mengalami penurunan fungsi ekologis oleh Kementrian Kehutanan, berdasarkan karakteristik biofisik.

  • Tanah terlantar – lahan yang telah diberikan izin namun belum dimanfaatkan oleh pemegang izin.

  • Lahan tidur – wilayah yang dianggap tidak produktif menurut regulasi nasional dan provinsi.

Di bawah Project POTICO WRI, lahan yang terdegradasi merujuk kepada wilayah yang telah dibuka dalam waktu yang lama sehingga saat ini mengandung cadangan karbon dan tingkat keanekaragaman hayati yang rendah, seperti padang rumput alang-alang. Menurut analisis ekonomi yang dilakukan oleh WWF dan kerja lapangan yang dilakukan oleh mitra WRI Sekala, banyak wilayah tersebut memiliki tanah yang cocok untuk perkebunan kelapa sawit, dapat memproduksi hasil yang kurang lebih sama dengan tanah yang baru saja dibuka, serta dinilai tidak produktif oleh masyarakat setempat.

Berapa banyak “lahan yang terdegradasi” di Indonesia?

Jika lahan yang terdegradasi merujuk kepada wilayah yang telah dibuka dalam waktu yang lama sehingga sekarang memiliki cadangan karbon yang rendah, maka menurut berbagai sumber terdapat setidaknya 6 juta hektar lahan yang terdegradasi di Indonesia (sebuah wilayah yang lebih luas dari Aceh).

Karena tidak ada definisi tunggal mengenai lahan yang terdegradasi, perkiraan luas lahan yang terdegradasi di Indonesia menjadi beragam. Oleh sebab itu, luas, lokasi, dan status lahan terdegradasi di Indonesia – khususnya dari sudut pandang hukum dan sosial – menjadi tidak jelas.

Banyak perkiraan yang tidak mencantumkan informasi yang memadai mengenai bagaimana perkiraan tersebut dibuat, atau definisi apa yang dipakai. Dalam banyak kasus, perkiraan-perkiraan merujuk kepada status hukum tanah ketimbang tingkat cadangan karbon. Perkiraan akhir-akhir ini yang berhubungan dengan luas lahan terdegradasi yang mungkin dapat digunakan untuk kelapa sawit di Indonesia mencakup:

  • 6 juta hektar lahan terdegradasi “dapat digunakan untuk ekspansi kelapa sawit” menurut pejabat senior Badan Koordinasi Penanaman Modal (Reuters, 2010).

  • 7 juta hektar tanah terlantar yang kondisinya sangat kritis menurut Kementrian Kehutanan, Februari 2010.

  • 8.5 juta hektar padang rumput alang-alang (Garrity 1997).

  • 7-14 juta hektar lahan terlantar yang terdegradasi yang mungkin dapat digunakan untuk pengembangan pertanian menurut Fitrian Ardiansyah, direktur iklim dan energi WWF-Indonesia (Jakarta Post, 2010).

  • 12 juta hektar lahan tidur, menurut Menteri Kehutanan, diindikasikan oleh BPN dapat digunakan untuk kegiatan bisnis (Jakarta Post, 2010).

  • 31 juta hektar lahan terlantar dianggap “cocok” dan “tersedia” untuk pertanian (Badan Litbang Pertanian 2007, dikutip dari draf kebijakan REDD+ Indonesia).

  • 40 juta hektar hutan yang terdegradasi di dalam kawasan hutan menurut Menteri Kehutanan (Jakarta Post, 2010).

  • 55 juta hektar lahan yang ditetapkan sebagai kawasan non-hutan, dengan kata lain, lahan di luar kawasan hutan (Kementrian Kehutanan 2008, dikutip dari draf kebijakan REDD+ Indonesia).

Untuk memahami kemungkinan implikasi kebijakan nasional yang mendukung pengembangan lahan yang “terdegradasi” dari sudut pandang karbon, akan membutuhkan kemampuan untuk membedakan terminologi yang merujuk kepada status fisik dan kandungan karbon, dengan terminologi yang merujuk kepada status hukum.

Berapa besar ekspansi kelapa sawit yang diharapkan?

Para ahli memperkirakan dibutuhkan 3-7 juta hektar lahan untuk mengakomodasi ekspansi kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2020.

Berapa banyak lahan yang dianggap “cukup” untuk ekspansi akan beragam tergantung kepada sudut pandang mengenai berapa banyak dan/atau apakah ekspansi dibutuhkan di suatu wilayah. Menimbang pertanyaan ini dalam skala nasional akan mengabaikan pertanyaan kritis yang berhubungan dengan distribusi manfaat dan biaya ekspansi, khususnya di tingkat lokal dan kabupaten.

Perkiraan luas lahan yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit saat ini adalah 6-8 juta hektar. Besarnya ekspansi akan sangat tergantung kepada permintaan global, hasil produksi, dan banyak faktor lainnya.

Perkiraan terbaru mengenai ekspansi kelapa sawit Indonesia tahun 2020 mencakup:

  • 3 juta hektar, yang diprediksi oleh para ahli dibutuhkan untuk memenuhi peningkatan permintaan global

  • 5 juta hektar untuk memenuhi target produksi nasional sebesar 40 juta ton minyak kelapa sawit mentah tahun 2020.1

  • 7 juta hektar perkiraan ekspansi menggunakan data FAO sebagai skenario dasar (Wicke et al, 2008).

  • 20 juta hektar konsesi yang telah direncanakan berdasarkan penilaian rencana spasial provinsi. Namun demikian, studi yang sama menemukan bahwa dalam beberapa tahun terakhir hanya sekitar sepertiga dari 18 juta hektar hutan yang dibuka di bawah konsesi kelapa sawit, yang akhirnya dibuat menjadi perkebunan.

Perkiraan-perkiraan tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan besar terdapat lahan terdegradasi yang cukup untuk mengakomodasi ekspansi kelapa sawit untuk mencapai target produksi Indonesia hingga 2020.

Bagaimana cara mengidentifikasi lahan yang cocok untuk ekspansi kelapa sawit yang berkelanjutan?

Wilayah yang cocok untuk ekspansi kelapa sawit berkelajutan dapat diidentifikasi menggunakan metodologi yang menggabungkan pertimbangan lingkungan, ekonomi, sosial, dan hukum – termasuk namun tidak terbatas kepada apakah sebuah wilayah terdegradasi.

Hanya karena sebuah lahan mengalami degradasi tidak berarti lahan tersebut secara otomatis cocok untuk ekspansi kelapa sawit yang berkelanjutan. Saat ini tengah berkembang sebuah konsensus yang signifikan – yang tercermin dari meningkatnya partisipasi kelompok industri di dalam RSPO serta pernyataan resmi pemerintah akhir-akhir ini – mengenai perlunya menyeimbangkan faktor lingkungan, ekonomi, sosial, dan hukum untuk memastikan agar ekspansi kelapa sawit benar-benar “berkelanjutan”. Mengidentifikasi lahan terdegradasi yang cocok untuk ekspansi akan membutuhkan partisipasi masyarakat, serta informasi yang akurat dan terkini bagi para pembuat kebijakan mengenai faktor lingkungan, ekonomi, sosial, dan hukum di lahan tersebut.

WRI dan Sekala telah mengembangkan metodologi kerja untuk mengidentifikasi wilayah yang cocok untuk kelapa sawit yang berkelanjutan menggunakan seperangkat kriteria yang memperhitungkan faktor-faktor tersebut (Tabel 2). Metodologi ini meliputi analisis awal menggunakan data yang tersedia dan kriteria penilaian yang berlaku, dilanjutkan dengan kerja lapangan untuk verifikasi dan analisis tempat yang mendalam. WRI dan Sekala tengah melakukan pendekatan dengan organisasi-organisasi lain yang melakukan penilaian yang serupa – termasuk WWF, Conservation International, The Nature Conservancy, dan Flora and Fauna International – untuk mengembangkan lebih lanjut metode ini.

Tabel 2. Kriteria Awal untuk Mengidentifikasi Wilayah yang Cocok untuk Ekspansi yang Berkelanjutan
Pertimbangan Kriteria Awal
Lingkungan — Apakah wilayah tersebut cocok secara lingkungan? Dapat dinilai dan dipetakan menggunakan kombinasi analisis data spasial dan kunjungan lapangan – menggunakan metodologi yang telah mapan untuk mengidentifikasi nilai konservasi tinggi (HCV). Cadangan karbon (di atas dan di bawah tanah)
Keanekaragaman hayati (HCV 1,2,3)
Manfaat ekosistem (HCV 4)
Potensi regenerasi hutan
Ekonomi — Apakah wilayah dapat dimanfaatkan secara ekonomi untuk perkebunan? Hal tersebut akan berbeda-beda di antara satu petani dengan yang lainnya – termasuk UKM – dan tergantung pengelolaannya. Kecocokan untuk pertanian (iklim, topografi, tanah)
Ukuran
Akses terhadap infrastruktur
Sosial— Apakah mengkonversikan wilayah menjadi perkebunan diterima oleh masyarakat lokal? Harus ditentukan melalui proses perencanaan yang partisipatoris yang mencakup persetujuan yang bebas dan telah didapatkan sebelumnya. Risiko pengungsi (HCV 5)
Risiko kehilangan identitas kultural (HCV 6)
Masyarakat lokal merasakan manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang seimbang dalam proses pemberian persetujuan yang bebas dan diberikan sebelumnya.*
Hukum— Apakah regulasi mengizinkan lahan yang terdegradasi digunakan untuk perkebunan? Dapat diubah – dan banyak yang harus diklarifikasi – oleh para pembuat kebijakan. Status hukum lahan
Klaim hukum

*Kriteria ini harus dipahami sebagai kriteria awal untuk proyek yang bertanggung jawab, tidak seperti kriteria awal lainnya yang tercantum di sini yang digunakan untuk mengidentifikasi wilayah yang cocok untuk perkebunan.

Gambar 1 menunjukkan cara lain untuk memahami kriteria awal:

 

Gambar 1. Kriteria Awal untuk Mengidentifikasi Wilayah yang Cocok untuk Ekspansi Kelapa Sawit yang Berkelanjutan

Beberapa wilayah yang cocok untuk kelapa sawit berkelanjutan berdasarkan kriteria lingkungan, ekonomi, dan sosial mungkin tidak dapat digunakan oleh petani kelapa sawit karena alasan-alasan hukum. Sebagai contohnya, beberapa wilayah terdegradasi tersebut mungkin diklasifikasikan secara hukum sebagai wilayah hutan di mana aktivitas pertanian dilarang. Hambatan hukum tersebut dapat diatasi oleh para pembuat kebijakan. Namun demikian, mengembangkan proses yang transparan dan adil untuk menghilangkan hambatan hukum membutuhkan informasi yang akurat. Data spasial terkini mengenai kelayakan hukum – seperti lokasi izin yang telah dikeluarkan atau hak-hak dan klaim lainnya – seringkali tidak tersedia atau inkonsisten di antara satu sumber dengan yang lainnya.

Bagaimana para pembuat kebijakan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini?

Sebuah website yang dapat diakses oleh publik yang menyediakan data spasial akurat dan terkini, serta menciptakan metodologi untuk mengidentifikasi wilayah yang cocok untuk ekspansi kelapa sawit berkelanjutan dapat memperbaiki proses pembuatan kebijakan di sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Sebuah “database lahan yang terdegradasi” atau “mekanisme pengelolaan data spasial” seperti yang diajukan oleh pembuat kebijakan REDD+ nasional dapat mendukung peningkatan pembuatan kebijakan untuk kelapa sawit berkelanjutan di segala lini, jika:

  • Mengandung data spasial yang komprehensif, akurat, dan diperbaharui secara reguler;

  • Berbentuk aplikasi berbasis web yang tersedia untuk publik dan mudah diakses yang memungkinkan pengguna untuk menciptakan peta berdasarkan kriteria penilaian yang telah ditentukan dan parameter yang ditentukan oleh pengguna;

  • Dibuat untuk menjawab kebutuhan para pembuat kebijakan – termasuk pembuat kebijakan REDD+, pejabat pemerintah nasional dan lokal, perusahaan swasta, masyarakat, dan organisasi masyarakat (Tabel 1);

  • Memiliki data yang cukup untuk melakukan analisis awal metodologi bersama untuk mengidentifikasi wilayah yang cocok untuk ekspansi yang berkelanjutan (Tabel 2); dan

  • Terintegrasi dengan “institusi yang independen untuk sistem verifikasi, pelaporan, dan pengawasan nasional” yang telah disebutkan dalam kesepakatan kerja sama Indonesia-Norwegia.

Memastikan akses publik kepada data spasial yang akurat dan terkini dapat memberikan para pembuat kebijakan landasan bersama untuk mengambil langkah – dan terlibat dalam dialog yang membangun – mengenai pengembangan lahan yang terdegradasi.


  1. Feed the World, Kamar Dagang dan Industri (KADIN), 2010. ↩︎