Tulisan ini merupakan artikel pertama dari seri “Ibu Bumi Papua” yakni catatan perjalanan Tim WRI Indonesia Regional Papua yang diperkaya dengan serial diskusi sebagai babak pembuka dari studi tentang Perempuan Papua, posisi dan hak-haknya dalam kehidupan adat, dan pengelolaan sumber daya alam. Tulisan ini merupakan studi yang bersifat permulaan yang harapannya dapat berlanjut agar pengetahuan dan pembelajaran kita terus bertumbuh.

Perempuan berada pada jantung kehidupan Papua dan merupakan kunci pengelolaan sumber daya alam. Jurnal yang ditulis oleh Surabhi Singh dan Sunita Dixit menjabarkan bahwa peran perempuan lebih besar dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Oleh karena itu, penyingkiran perempuan dari sumber daya akan berdampak besar pada menurunnya fungsi aset alam.

Undang-undang otonomi khusus menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik diwujudkan dengan partisipasi rakyat sebesar-besarnya. Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan mengikutsertakan wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Penghormatan yang disematkan kepada perempuan: “dialah sang noken, dialah sang burung cenderawasih, dialah pembuka pintu kehidupan,” menjadi penanda pentingnya perempuan dalam kehidupan di Tanah Papua. 

Perempuan Adat Papua menghadapi kondisi alam yang sulit, infrastruktur dan fasilitas kesehatan terbatas. Angka Kematian Ibu di Provinsi Papua pada tahun 2020 merupakan yang tertinggi di Indonesia. Hal ini merupakan refleksi masih kurangnya kualitas pelayanan kesehatan bagi perempuan di Tanah Papua. Selain itu, ketimpangan gender yang ditunjukkan dengan capaian Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) tahun 2021 di Provinsi Papua (67,50) dan Provinsi Papua Barat (62,17) yang berada di bawah rata-rata nasional sebesar 76,26 (BPS, 2021).

Mama-mama sedang mengumpulkan bahan baku untuk pembuatan teh mangrove.
Mama-mama sedang mengumpulkan bahan baku untuk pembuatan teh mangrove. Kredit foto: Kasan untuk WRI Indonesia 

Kajian dengan perspektif yang berpihak pada Tanah Papua—manusia, alam dan pengetahuan—sangat dibutuhkan. Perubahan zaman dan derap investasi telah mengubah lanskap alam dan hidup masyarakat adat secara signifikan. Berikut 4 relasi perempuan dengan sumber daya alam di Tanah Papua yang bersumber dari temuan-temuan lapangan di Pegunungan Arfak, Manokwari, Manokwari Selatan, Kepulauan Biak, Jayawijaya, dan pesisir Jayapura. 

Garis Terdepan Penjaga Alam 

Perempuan sebagai penghasil pangan utama keluarga memahami dengan baik kondisi alam dan perubahan alam dari waktu ke waktu, karena perubahan alam berpengaruh besar pada pemenuhan pangan keluarga. Sebagai contoh, akusisi lahan skala besar pada hutan sagu di Kais dan Mentemani (Kabupaten Sorong Selatan) menyebabkan sumber pangan semakin jauh dari pemukiman. Perempuan harus lebih bekerja keras untuk memastikan kesediaan pangan keluarga terpenuhi (Larastiti, C, 2020). 

Menjaga hutan dilakukan mama-mama di Kampung Kabidon, Distrik Yendidori, Biak, yang bergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Bersaudara. Penanaman tanaman hutan di lahan kritis merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk menanggapi kondisi sumber air yang berkurang (Catatan Perjalanan tahun 2020). 

Mama-mama di Pegunungan Arfak, menghabiskan 7 hingga 8 jam setiap hari untuk berkebun. Lokasi kebun berpindah, dengan prinsip igya ser hanjop (berdiri untuk menjaga batas/ menghormati batas milik marga sendiri dan orang lain), dilakukan dengan konsep-konsep menjaga alam. Kebun berpindah untuk menjaga kesuburan tanah (membiarkan 1 hingga 2 tahun) serta berkebun tanpa pupuk kimia, merupakan praktik yang biasa dilakukan oleh mama-mama untuk menjaga alam. Praktik pengelolaan dan budi daya yang dilakukan perempuan adat  wilayah Pegunungan Arfak merupakan salah satu cara mereka untuk melindungi wilayah adat agar komunitas suku memahami pentingnya wilayah tersebut.  

Mama-mama dan anak perempuan sedang membawa hasil panen sayur.
Mama-mama dan anak perempuan sedang membawa hasil panen sayur. Kredit foto: Yusuf Ahmad untuk WRI Indonesia 

Penggerak Kehidupan 

Els Tieneke Rieke Katmo, akademisi Universitas Papua, menyebutkan bahwa Papua memiliki women-centered culture. Sebagai contoh, Suku Kamoro menempatkan perempuan pada posisi-posisi adat penting. Mereka memegang kunci kendali pada pengelolaan sumber daya alam: pengetahuan sejarah suku, ilmu pengobatan, pengetahuan tata cara berladang, dan pengetahuan tradisional menjaga kelestarian alam untuk kehidupan. 

Di Kampung Yawerma, Kabupaten Supiori, Provinsi Papua, perempuan menjadi penggerak kehidupan dengan memanfaatkan hasil laut dan mengelola lahan menjadi kebun. Hasil laut, olahan mangrove, pinang, dan sagu akan di jual ke pasar untuk pemenuhan kebutuhan. Selain dijual ke pasar, hasil tangkapan ikan juga digunakan untuk kebutuhan pangan keluarga (Catatan perjalanan, 2020). Selain itu, perempuan juga memiliki keahlian menenun, menganyam, dan merajut noken, baik untuk kebutuhan internal keluarga maupun untuk dijual. 

Seorang perempuan sedang menjual hasil kebun dan ikan di pasar
Seorang perempuan sedang menjual hasil kebun dan ikan di pasar. Kredit foto: Ulet untuk WRI Indonesia 

Selain pemenuhan kebutuhan keluarga, perempuan juga berperan pada pemenuhan kebutuhan adat. Dalam berbagai upacara adat, kesuksesan acara sangat bergantung pada perempuan. Ketersediaan pangan dan kelancaran rangkaian ritual menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Perempuan berada di balik layar dalam mempengaruhi semua keputusan adat dan menjadi aset kebanggaan sebuah suku, seperti burung cenderawasih yang indah dan anggun (Catatan wawancara bersama Naomi Marasian tahun 2020).  

Penjaga Ingatan-Ingatan Suku 

Perempuan menyimpan sejarah dan ingatan suku. Perempuan relatif lebih detail dalam mengingat riwayat keluarga, marga, dan suku, seperti sejarawan yang menyimpan catatan dan ingatan perjalanan suku-suku di Papua. 

Salah satu perempuan yang mengikuti proses pemindahan sketsa kampung ke peta citra satelit sebagai bagian dari proses pemetaan partisipatif.
Salah satu perempuan yang mengikuti proses pemindahan sketsa kampung ke peta citra satelit sebagai bagian dari proses pemetaan partisipatif. Kredit foto: Hendrika Wulan/WRI Indonesia

Dalam proses pemetaan wilayah adat menggunakan metode pemetaan partisipatif, perempuan menjadi narasumber dalam proses penyelesaian konflik, berbekal pada ingatan-ingatan terkait suku yang mereka miliki. Pada beberapa peristiwa, seorang laki-laki akan mencari informasi terkait dengan lahan kepada perempuan yang di-tua-kan. Kolaborasi, solidaritas, dan resolusi konflik meningkat ketika terdapat kehadiran perempuan (Westermann et al., 2005). 

Mama-mama mewariskan pengetahuan dan sejarah dari generasi ke generasi, terkait dengan bahasa, mitos, cara berladang, riwayat waris, ramuan obat herbal, ramuan racun untuk berperang, dan sistem pengerahan logistik upacara adat. Pengetahuan tradisional ini menjadi kunci keberlanjutan suku dan sumber daya alam. 

Suara Perempuan Adat 

Yustina Ogoney, pada tahun 2017, mendapat kesempatan dari Bupati Teluk Bintuni Petrus Kasihiw  untuk menjadi Kepala Distrik Merdey. Hal ini disambut baik oleh Yustina karena secara umum, tidak mudah bagi perempuan setempat meraih kepercayaan sebagai pemimpin. Perempuan kerap dianggap tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, bukan oleh orang lain, melainkan oleh masyarakat setempat. “Kitong harus buktikan perempuan mampu jadi pemimpin.”

Peneguhan dan pengakuan status Hutan Adat adalah salah satu aspirasi yang disampaikan warga Suku Moskona kepada Yustina Ogoney. Kawasan hutan Suku Moskona dikelilingi oleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH), sehingga kapan saja dapat terjadi ekspansi yang mengancam keberadaan hutan. Pengakuan status Hutan Adat dibutuhkan untuk menjaga agar hutan tetap aman. Kerja keras Yustina Ogoney dan berbagai pihak untuk mendapatkan pengakuan status Hutan Adat Suku Moskona berbuah manis ketika pada bulan Oktober 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mengeluarkan SK 8031/MENLHK-PSKI/PKTHA/PSL.1/20/2022 tentang Penetapan Status Hutan Adat Marga Ogoney dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Marga Ogoney pada Suku Moskona seluas kurang lebih 16.299 hektare di Distrik Merdey, Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat. 

Undang-Undang No. 2 Tahun 2021 menyatakan bahwa keterwakilan perempuan pada Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRP) adalah seperempat kali dari jumlah anggota dan sekurang-kurangnya berjumlah 30%. Pada periode 2019—2024, dari 55 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua, proporsi perempuan sekitar 15%. Namun upaya keterwakilan perempuan sebanyak 30% pada legislatif telah menjadi prioritas MRP pada Pemilu 2024. Dalam Majelis Rakyat Papua (MRP) terdapat Bidang Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan yang diharapkan dapat menjadi wadah Perempuan Papua untuk menyuarakan pemikiran.

Papua memiliki akar budaya yang berpusat pada perempuan. Pergeseran zaman membuat posisi perempuan terpinggirkan dan terlupakan dari keputusan strategis. Mengelola dan menjaga sumber daya alam untuk hidup keluarga adalah pekerjaan ekstra keras. Kekayaan pengetahuan perempuan perlu didengarkan secara layak dibarengi dengan peningkatan pemberdayaan dan kapasitas kepemimpinan perempuan untuk bersuara di ruang-ruang publik. Ruang-ruang perempuan untuk bersuara sudah mulai terbuka di level elit, tetapi tantangan yang terbesar adalah memastikan kekuasaan dalam proses pembuatan keputusan yang menekankan kepentingan peran perempuan.

Kelompok Pengolah VCO di Papua
Diskusi dengan kelompok perempuan pengolah virgin coconut oil (VCO). Kredit foto: Hendrietta Retno untuk WRI Indonesia.

Sumber: Catatan perjalanan lapangan Wilayah Pegunungan Arfak, Manokwari Selatan, Manokwari, Kepulauan Biak, Pegunungan Jayawijaya, Jayapura.