Dibandingkan dengan negara tropis lain, Indonesia telah menunjukan kemajuan besar dalam penurunan deforestasi beberapa tahun terakhir. Pemerintah telah mengeluarkan data resmi pada Mei 2018 yang menunjukkan penurunan tingkat kehilangan hutan di Indonesia sejak tahun 2015. Menurut data resmi tersebut, deforestasi Indonesia pada 2018 mencapai 440.000 hektar, sedikit lebih rendah dari deforestasi pada 2017 yang mencapai 480.000 hektar. Global Forest Watch juga mengeluarkan data serupa yang menunjukkan penurunan deforestasi sebesar 40 persen di hutan primer Indonesia pada 2018, dibandingkan dengan rata-rata tingkat kehilangan tahunan pada 2002-2016.

Dengan tingkat penurunan yang sangat mengesankan dalam dua tahun terakhir ini, Indonesia sepertinya telah berada di jalur yang tepat untuk mewujudkan target Kontribusi Nasional (NDC) sektor kehutanan dalam Perjanjian Iklim Paris. Indonesia kemudian menetapkan target lanjutan berupa pembatasan deforestasi tahunan hingga 325.000 hektar antara tahun 2020 hingga 2030.

Sejumlah kebijakan juga ikut berkontribusi terhadap penurunan deforestasi di Indonesia. Salah satu yang mungkin paling efisien adalah penguatan penegakan hukum untuk mencegah kebakaran hutan dan pembukaan lahan. Selain itu, upaya pemulihan 2,4 juta hektar lahan gambut terdegradasi, seperti yang diamanatkan Peraturan Presiden pada tahun 2016, juga berperan dalam mengurangi kebakaran lahan gambut. Upaya tersebut tentu berkontribusi pula pada penurunan tingkat deforestasi.

Selain itu, kebijakan seperti moratorium pembukaan hutan primer dan lahan gambut juga terbukti efektif. Pada 2018, deforestasi di wilayah moratorium menurun sebesar 45 persen dibandingkan dengan periode 2002-2016. Pemerintah pun akhirnya berencana untuk mengesahkan moratorium tersebut secara permanen pada akhir tahun ini.

Namun demikian, beberapa faktor lain di luar kebijakan-kebijakan tersebut juga berkontribusi terhadap penurunan kebakaran hutan dan deforestasi. Misalnya, ketiadaan gelombang panas akibat El Niño selama tiga tahun terakhir dan tingkat hujan yang relatif lebih tinggi.

Beberapa Wilayah di Indonesia yang Justru Mengalami Peningkatan Deforestasi

Meskipun secara nasional terjadi penurunan, angka deforestasi masih terus meningkat di beberapa provinsi yang memiliki banyak hutan primer dan lahan gambut.

Pada 2018, Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua Barat mengalami peningkatan deforestasi dibandingkan tahun sebelumnya, masing-masing sebesar 43 persen, 40 persen dan 36 persen. Grafik di bawah ini menunjukkan tujuh provinsi dengan peningkatan deforestasi tertinggi. Perlu digarisbawahi, hampir sepertiga hutan primer Indonesia berada di ketujuh provinsi tersebut. Hutan-hutan primer ini merupakan ekosistem yang sangat penting dengan aneka pohon berusia ratusan, bahkan ribuan tahun, yang mengandung lebih banyak karbon daripada hutan lain. Keberadaan hutan-hutan primer ini tidak tergantikan terutama sebagai ekosistem yang melestarikan keanekaragaman hayati.

Perlindungan hutan-hutan primer di provinsi-provinsi tersebut sangatlah penting. Bukan hanya untuk mencapai target iklim Indonesia, namun juga untuk menjaga wilayah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi sebagai sumber penghidupan serta penyedia makanan, air, udara bersih, obat-obatan dan lain-lain.

Bagaimana Pemerintah Indonesia Dapat Terus Menurunkan Kehilangan Hutan Primer?

Ada kemungkinan El Niño akan terjadi lagi di Indonesia pada tahun ini. Oleh karena itu, kita perlu segera mengambil langkah untuk mencegah peningkatan deforestasi. Berikut tiga langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk mempertahankan tren positif penurunan deforestasi.

1. Melanjutkan komitmen untuk melindungi hutan primer, khususnya di Papua, Papua Barat, Aceh, dan Kalimantan Utara. Dalam kerangka kerja REDD+ PBB, Indonesia lebih fokus pada penurunan deforestasi dan degradasi hutan (REDD), namun masih mengesampingkan komponen “plus” yang mencakup konservasi hutan. Menurut analisis terbaru, upaya perlindungan hutan primer di Papua dengan dukungan restorasi lahan yang telah terdegradasi dapat mengurangi 2,8–3,3 gigaton emisi karbon dioksida, jumlah yang sama dengan paduk nilai emisi yang diproyeksikan per 2030 dalam NDC Indonesia. Kegagalan melindungi hutan primer dapat menyebabkan target penurunan emisi pemerintah menjadi sulit tercapai.

2. Memperluas kebijakan moratorium dengan mengikutsertakan hutan dengan keanekaragaman hayati tinggi dan hutan terdegradasi dengan pasokan karbon yang tinggi. Di wilayah-wilayah kritis tersebut, pengembangan ekonomi lokal menjadi fokus utama. Mengikutsertakan hutan-hutan terdegradasi yang dikuasai oleh masyarakat adat ke dalam proyek kehutanan sosial adalah salah satu opsi untuk mencegah kerugian lebih lanjut. Proyek-proyek ini memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat sekitar, memastikan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dikelola secara berkelanjutan, serta membantu melindungi hutan terdegradasi.

3. Menentukan target restorasi hutan dan lahan gambut yang lebih tinggi. Belakangan ini, wacana restorasi hutan telah berkembang dari sekadar penghentian deforestasi menjadi penghapusan emisi karbon dioksida dari atmosfer. Teknologi canggih yang dibutuhkan, seperti penangkapan dan penyimpanan karbon, memakan biaya yang besar. Ekosistem alami seperti hutan tropis menjadi alternatif yang lebih efisien dan terjangkau untuk menyerap emisi karbon. Kunci kesuksesan dalam meningkatkan upaya restorasi hutan dan lahan gambut terletak pada rencana bisnis yang tepat.

Seperti dalam sepak bola, ketika telah mencetak gol pertama, kita akan semakin percaya diri dan lebih semangat bermain. Setelah mencetak gol kedua, mental pemenang mulai terbangun dan kita akan bermain dengan lebih cerdas. Kemajuan pesat Indonesia dalam menahan laju deforestasi pada 2017 dan 2018 menunjukkan bahwa usaha yang lebih keras dan lebih cerdas adalah cara yang tepat untuk menyelamatkan hutan dan mencapai target iklim kita—sebuah contoh yang berharga bagi masyarakat global.