Artikel ini merupakan bagian dari serangkaian artikel blog mengenai Inisiatif Satu Peta di Tingkat Tapak. Artikel ini berfokus pada konflik antara sebuah perusahaan sawit dengan masyarakat setempat di Sumatera Selatan. Lihat di sini untuk membaca artikel blog lain yang berkaitan dengan berbagai konflik lahan yang melibatkan berbagai pihak, serta bagaimana Inisiatif Satu Peta berupaya menyelesaikannya.

Lahan di sepanjang Sungai Musi, yang terbentang di empat provinsi di Sumatera, Indonesia, pada masa lalu pernah menghasilkan beras dan aneka buah-buahan tropis. Para penduduk di desa seperti Ulak Teberau, Sumatera Selatan, menggantungkan penghidupan mereka pada hasil pangan tersebut dan lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, situasi saat ini tidak lagi sama. Dua puluh tahun sejak munculnya perkebunan kelapa sawit, banyak penduduk yang kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang sebelumnya menjadi penopang hidup mereka.

<p>South Sumatra’s Musi River. Photo by Dean Y. Affandi</p>

Sungai Musi di Sumatera Selatan. Foto oleh Dean Y. Affandi

Masalah di desa Ulak Teberau bermula pada tahun 1997, ketika sebuah perusahaan sawit memperoleh izin konsesi untuk mengelola lahan sekitar 10.000 hektar di Kabupaten Musi Banyuasin. Dalam kurun waktu dua dekade setelahnya, perusahaan tersebut telah memperluas cakupannya dan mengelola lebih banyak lahan daripada yang tertera di perizinannya. Beberapa dari lahan tersebut merupakan lahan milik masyarakat setempat, warga menyatakan bahwa perusahaan tersebut telah mengambil alih tanpa izin lebih dari 3.000 hektar lahan milik mereka. “Bagi kami, penjajah tidak pernah pergi. Hanya warna kulit mereka yang berganti,” ujar Ruslan, 55 tahun, seorang warga Ulak Teberau.

Lahan yang menjadi sengketa tersebut kini berubah menjadi rawa terbengkalai yang tidak lagi produktif dan tidak dapat diakses oleh penduduk setempat, sehingga mengancam kesejahteraan sekitar 400 rumah tangga di desa tersebut.

Ruslan menyatakan bahwa saat ini pilihan mata pencahariannya pun menjadi terbatas dikarenakan tidak adanya akses ke lahan sekitarnya. “Sekarang, setiap kali kami ingin memancing ikan, kami harus mendapatkan izin dari perusahaan. Ini tidak benar. Keluarga kami sudah hidup di sini bahkan sebelum negara ini merdeka.”

Inti Permasalahan

<p>WIlayah yang sebelumnya produktif untuk pertanian kini berganti menjadi rawa di Ulak Teberau, di mana penduduk desa harus berhadapan dengan pengambilalihan lahan yang dilakukan oleh perusahaan sawit. Foto oleh Roberto Hutagalu.</p>

WIlayah yang sebelumnya produktif untuk pertanian kini berganti menjadi rawa di Ulak Teberau, di mana penduduk desa harus berhadapan dengan pengambilalihan lahan yang dilakukan oleh perusahaan sawit. Foto oleh Roberto Hutagalu

Tata kelola lahan di Indonesia merupakan hal yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, institusi pemerintah, dan instrumen hukum. Pola yang terjadi berulang kali seperti patronase, penyuapan, dan penyalahgunaan pun semakin mempersulit situasi.

Kabupaten Musi Banyuasin adalah salah satu contoh rumitnya tata kelola lahan di Indonesia. Hasil penyelidikan yang dilakukan oleh badan pertanahan, penduduk desa, dan dewan perwakilan setempat pada tahun 1997 menyimpulkan bahwa luas wilayah yang diambil alih oleh perusahaan sawit tersebut ternyata telah mencapai dua kali lipat dari luas lahan yang diizinkan. Dari interaksi WRI Indonesia dengan para pemangku kepentingan, ditemukan informasi dan dokumen pendukung yang menunjukkan bahwa pada tahun 2014, dewan perwakilan rakyat daerah setempat sempat akan menerbitkan rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk menghentikan izin operasi perusahaan tersebut. Namun pada akhirnya, dewan membatalkan rekomendasinya. Berbagai sumber mengindikasikan bahwa perusahaan perkebunan memberikan sejumlah uang kepada beberapa pejabat tinggi di pemerintahan daerah, para anggota dewan, dan badan pertanahan.

Kurangnya persatuan di antara para penduduk Ulak Teberau juga mungkin turut berkontribusi terhadap sengketa yang berkepanjangan ini. Meskipun terasa kemarahan penduduk kepada perusahaan sawit, para penduduk tidak bekerja sama untuk mengklaim hak mereka. Masyarakat pun terbagi - ada yang memiliki dokumen kepemilikan hukum yang lengkap, namun ada juga yang tidak. Mereka yang tidak memiliki dokumen lengkap cenderung bersikap menerima keadaan, tanpa adanya keinginan untuk merebut kembali lahan mereka. Secara umum, perempuan dan pemuda cukup terpisahkan dari konflik ini karena mereka tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Langkah-Langkah untuk Menyelesaikan Konflik Lahan

Untuk menangani permasalahan ini, isu mengenai kepemilikan dan akses lahan harus dipahami dengan segala kompleksitasnya. Model politik, ekonomi, atau hukum yang unidimensional tidak akan cukup. Yang diperlukan adalah suatu pendekatan partisipatif dan responsif berdasarkan penilaian terhadap situasi lokal yang dilakukan secara hati-hati.

Pemerintah Indonesia tengah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan akar permasalahan lahan konflik di desa-desa seperti Ulak Teberau. Pemerintah telah mengidentifikasi bahwa peta yang tidak akurat, tidak lengkap, dan belum diperbaharui merupakan salah satu pemicu konflik agraria dan sumber daya alam di negara ini. Temuan pemerintah ini menegaskan pentingnya Inisiatif Satu Peta di Tingkat Tapak, sebuah upaya kolaboratif untuk mengimplementasikan Kebijakan Satu Peta di wilayah daerah yang difasilitasi oleh WRI Indonesia. Inisiatif ini bertujuan untuk menetapkan satu peta bersama yang akan digunakan untuk menyelesaikan konflik lahan. Pada bulan Juni tahun ini, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa “Kebijakan Satu Peta memfasilitasi resolusi konflik-konflik yang timbul akibat adanya tumpang tindih penggunaan lahan dan membantu menetapkan batas-batas lahan di seluruh Indonesia.”

Di tingkat daerah, pemerintah kabupaten Musi Banyuasin baru-baru ini membentuk satuan tugas khusus yang diberi mandat untuk menyelesaikan konflik agraria dan sumber daya alam di wilayahnya. Bagi masyarakat Ulak Teberau, proses ini dapat membantu mereka mengembangkan Satu Peta mereka sendiri, yang kemudian dapat menjadi rujukan bagi seluruh pemegang kepentingan. Proses ini dapat menjanjikan terselesaikannya sengketa lahan yang telah terjadi selama 20 tahun, serta mencegah terjadinya konflik lahan lainnya pada masa yang akan datang.

Inisiatif Satu Peta oleh WRI Indonesia saat ini bekerja baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, di empat provinsi, untuk mendukung desa-desa seperti Ulak Teberau. Dengan memastikan adanya data yang kredibel, perbaikanpengelolaan sumber daya alam, serta peningkatan komunikasi antar pemangku kepentingan, harapan kami adalah mendorong implementasi Kebijakan Satu Peta yang dapat menyelesaikan perselisihan mengenai peruntukan lahan serta memberi keadilan bagi masyarakat setempat untuk memungkinkan tercapainya tata guna lahan yang lebih berkelanjutan.