Untuk sebagian besar masyarakat Indonesia, Ramadhan bukan sekadar bulan yang spiritual, tetapi juga waktu dimana lonjakan harga bahan pangan terjadi, yang sebagian besar disebabkan oleh meroketnya permintaan akan bahan pangan tertentu.

Untuk mengatasi permasalahan tahunan ini, Presiden Joko “Jokowi” Widodo minggu lalu mengumpulkan para menteri perekonomiannya untuk melakukan serangkaian tindakan untuk mengendalikan harga di pasar, khususnya harga daging sapi. Dalam mekanisme pasar persediaan versus permintaan, tingginya permintaan daging sapi oleh sebagian penduduk memang menciptakan keuntungan ekonomi yang signifikan bagi beberapa orang, tetapi kita perlu melihatnya secara lebih luas.

Apakah manusia memahami dampak dari mengonsumsi terlalu banyak daging sapi atau makanan yang bersumber dari hewan pada lingkungan? Apakah kita benar-benar memerlukan banyak daging sapi di atas meja? Mungkin salah satu jawaban untuk menurunkan harga daging sapi yang membumbung tinggi adalah dengan mengubah pola makan kita.

Sebuah studi terbaru oleh World Resources Institute (WRI) menemukan bahwa mengubah pola makan masyarakat dari konsumsi makanan berbahan dasar hewan, khususnya daging sapi, menjadi makanan berbahan dasar tumbuhan akan mengurangi tekanan terhadap lahan dan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor pertanian. Hal ini dikarenakan makanan berbahan dasar hewan umumnya cenderung banyak menggunakan sumber daya dibandingkan dengan makanan berbahan dasar tumbuhan.

Hewan ternak menggunakan lebih banyak lahan dan air serta menghasilkan lebih banyak emisi GRK per unit protein dari makanan lain apa pun yang umumnya dikonsumsi. Sekitar seperempat wilayah daratan di Bumi dimanfaatkan sebagai padang rumput dan sekitar sepertiga dari seluruh air dalam produksi hewan ternak diperuntukkan bagi sapi atau lembu. Produksi satu ton protein daging sapi akan mengeluarkan karbon setara dengan penebangan empat pohon berumur 35 tahun di hutan tropis.

Sementara itu, produksi satu ton protein yang berasal dari tumbuhan seperti gandum, jagung, dan kacang-kacangan setara dengan penebangan hanya satu pohon dewasa.

Di antara makanan berbahan dasar hewan, daging sapi khususnya adalah salah satu yang sangat tidak efisien untuk diproduksi. Sejumlah besar kalori dan protein yang dikonsumsi oleh ternak hanya menghasilkan sejumlah kecil kalori dan protein untuk konsumsi manusia. Sebagai contoh, hanya 1 persen kalori dan 4 persen protein yang dimakan oleh ternak yang dapat menjadi kalori dan protein yang dapat dikonsumsi oleh manusia.

Oleh karena itu, bahkan dengan sedikit mengubah pola makan kita dengan mengonsumsi lebih sedikit daging sapi, kita dapat membantu lingkungan. Kajian WRI menunjukkan bahwa jika konsumen daging sapi di dunia mengurangi konsumsi daging sapi sampai dengan 40 persen, maka total luas lahan yang dapat dihindari untuk diubah menjadi padang rumput akan mencapai kurang lebih dua kali ukuran India.

Di samping itu, mengurangi konsumsi daging sapi akan menghindari emisi GRK global di kemudian hari yang mencapai lebih dari tiga kali total emisi pada 2009.

Sementara kita dapat melindungi lingkungan dengan tidak mengonsumsi makanan secara berlebihan, manusia mungkin juga ingin mengurangi asupan protein dan kalori mereka. Secara global, seseorang rata-rata mengonsumsi makanan lebih dari kebutuhannya, sehingga menyebabkan konsumsi makanan yang berlebihan. Sebagai contoh, kebutuhan protein harian rata-rata manusia dewasa adalah 51 gram. Tetapi, secara global, manusia mengonsumsi rata-rata sekitar 68 gram protein per hari. Para ahli telah mencatat bahwa konsumsi protein berlebihan berkaitan dengan beberapa masalah kesehatan, termasuk batu ginjal dan penurunan fungsi ginjal pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal.

Demikian pula, orang-orang di Indonesia mengonsumsi lebih banyak protein dari asupan yang dianjurkan. Data dari kajian WRI selanjutnya menunjukkan bahwa rata-rata penduduk Indonesia mengonsumsi protein hewani dalam jumlah yang semakin meningkat selama empat dekade terakhir, dari lima gram per hari pada tahun 1961 menjadi 15 gram per hari pada tahun 2011. Pada tahun 2030, rata-rata penduduk Indonesia diproyeksikan akan mengonsumsi lebih dari 30 gram protein hewani per hari.

Hal ini menyiratkan bahwa permintaan akan makanan berbahan dasar hewan akan terus meningkat dan karena perayaan keagamaan dan budaya, di mana masyarakat di Indonesia seringkali menempatkan daging sapi dan makanan berbahan dasar hewan lainnya sebagai menu wajib di atas meja, konsumsi protein yang berlebihan akan secara khusus terjadi pada waktu-waktu tersebut. Secara keseluruhan, manusia perlu secara bertahap mengubah budaya pola makannya dengan mengurangi konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi. Untuk mewujudkannya, masyarakat dapat mengonsumsi beragam sumber protein berkualitas tinggi lainnya, seperti protein berbahan dasar ikan, unggas, dan tumbuhan.

Makanan yang mengandung protein nabati (berbahan dasar tumbuhan) khususnya mengandung lebih banyak serat dan lebih sedikit lemak dari makanan yang mengandung protein hewani. Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang mengonsumsi makanan berbahan tumbuhan dalam jumlah cukup cenderung memiliki kesehatan yang jauh lebih baik daripada mereka yang mengonsumsi daging dalam jumlah besar. Namun demikian, pergeseran pola makan ini berfokus untuk mengurangi dan bukan menghapus konsumsi daging sapi, karena konsumsi daging sapi menyokong mata pencaharian para petani yang bergantung pada ternak dan peternakan memanfaatkan lahan yang awalnya tidak produktif.

Asupan protein dalam jumlah sedang pada akhirnya akan membantu produksi pertanian yang lestari, membantu mengurangi emisi GRK dari sektor lahan, dan mungkin memitigasi ketidakstabilan harga selama bulan Ramadhan. Mengubah budaya makanan kita, khususnya yang berkaitan dengan kebiasaan dan perayaan, memang merupakan proses yang sulit dan lambat, tetapi dengan mempertimbangkan lingkungan dan kesehatan, proses tersebut dapat berjalan dengan lebih cepat.

Bagaimanapun juga, Ramadhan merupakan kesempatan untuk mempraktikkan kesahajaan dan pengendalian diri.