Membangun Ketahanan Pangan Indonesia 2030
Sejak tahun 2001 sampai 2021 produksi pertanian dunia tumbuh sebesar 54% dengan total produksi mencapai 9,5 miliar ton pada tahun 2021. Pertumbuhan tersebut bahkan lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk dunia, yakni sebesar 29%. Hasil produksi pertanian tersebut disalurkan untuk makanan, pakan ternak, serta bahan dasar industri.
Meskipun relatif tinggi, tingkat pertumbuhan produksi pertanian saat ini masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan 9,6 miliar penduduk dunia pada tahun 2050 nanti. Produksi pangan diperkirakan perlu meningkat sebesar 100% untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Tillman, 2011). Hal ini salah satunya disebabkan oleh turunnya produksi pangan dunia akibat tekanan dari perubahan iklim.
Masalah ini juga mengancam ketahanan pangan Indonesia. Berdasarkan laporan Neraca Bahan Makanan yang dikeluarkan oleh Badan Pangan Nasional pada tahun 2018-2020, belum semua pangan strategis Indonesia dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Sejumlah pangan utama masih harus dipenuhi dari impor, termasuk kedelai (80-90% impor), gula pasir (65-70% impor), bawang putih (90-95% impor) dan daging sapi (25-30% impor). Jika produksi dunia untuk pangan strategis tersebut terganggu, maka akan sangat berpengaruh pada kondisi pangan nasional.
Risiko yang dihadapi ketahanan pangan global ini diperparah dengan rendahnya diversifikasi pangan dunia. Produk utama dari hasil pertanian dunia adalah padi-padian (cereals), gula dan minyak nabati. Khusus jenis padi-padian, 90% produksinya didominasi oleh jagung, beras dan gandum. Hal ini mengindikasikan tingginya ketergantungan dunia atas komoditas pangan tertentu.
Di sisi lain, malnutrisi masih menjadi masalah kesehatan yang besar di Indonesia. Setidaknya, ada 23 juta orang Indonesia yang tidak mampu memenuhi asupan gizi berimbang (undernourished) setiap hari. Selain itu, berbagai masalah kesehatan yang berkaitan dengan gizi dan nutrisi seperti stunting, obesitas, dan berbagai penyakit bawaan akibat pola makan juga menjadi tantangan untuk Indonesia. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan kepada remaja putri di 335 sekolah di daerah Jawa Barat menyebutkan bahwa 45% remaja putri tersebut mengalami anemia dan 18% obesitas yang keduanya berkaitan dengan pola makan (Agustina et al., 2020).
Fenomena-fenomena di atas adalah akibat dari sistem pangan yang mewarisi kebijakan-kebijakan sejak puluhan tahun yang lalu. Contohnya, pembukaan lahan besar-besaran untuk pertanian yang menyebabkan degradasi hutan atau berbagai kebijakan mengutamakan beras yang menyebabkan hilangnya diversifikasi pangan terutama karbohidrat di masyarakat. Karena itu, mengubahnya juga memerlukan proses yang transformatif. Sistem pangan adalah seluruh elemen (lingkungan, manusia, input, proses, infrastruktur, institusi, dan lain-lain) dan aktivitas yang berhubungan dengan produksi, processing, distribusi, persiapan, dan konsumsi dari makanan dengan keluaran dari proses ini termasuk di dalamnya dampaknya kepada sosial ekonomi dan juga lingkungan (HLPE Report, 2017).
Melihat kompleksitas permasalahan pangan, diperlukan perubahan multi-pilar untuk mewujudkan transformasi sistem pangan di Indonesia. Hal ini dilakukan oleh Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL), bagian dari Food and Land Use Coalition (FOLU), yaitu komunitas global pembuat perubahan yang bekerja bersama para mitra guna mentransformasikan sistem pangan dan tata guna lahan dunia, melalui penyusunan solusi berbasis sains dan aksi kolektif yang ambisius.
Diawali dengan Ten Critical Transition to Transform Food and Land Use yang kemudian dilengkapi dengan berbagai studi, proyek, dan berbagai diskusi, KSPL pun merumuskan empat pilar yang diperlukan untuk transformasi sistem pangan di Indonesia, yaitu: pola makan yang sehat yang berbasis pada sumber daya dan kearifan lokal, produksi berkelanjutan, pengurangan susut dan limbah pangan, serta pengembangan platform multipihak untuk transformasi tata kelola sistem pangan di Indonesia.
4 Pilar Transformasi Sistem Pangan
1. Pola makan sehat
Transformasi yang pertama adalah perubahan menuju pola makan yang sehat dan berkelanjutan. Indonesia saat ini menghadapi masalah triple burden malnutrition yakni kekurangan gizi (stunting dan wasting), kegemukan, dan kekurangan mikronutrien (kelaparan tersembunyi).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, 21,6% anak Indonesia berusia 5 tahun ke bawah mengalami tengkes (stunting), 7,7% wasted, dan 17,1% kekurangan berat badan.
Sedangkan untuk populasi dewasa, 21,8% mengalami kelebihan berat badan, hampir setengah dari populasi wanita hamil di Indonesia mengalami anemia, 8,49% kekurangan gizi, dan 10,8% populasi menderita diabetes.
Seluruh permasalahan ini berkaitan dengan pola makan. Masyarakat Indonesia terlalu banyak mengonsumsi makanan yang digoreng, terlalu asin, berlemak, hanya mengonsumsi nasi sebagai sumber karbohidrat utama sehingga kurang mengkonsumsi umbi-umbian, sayur serta buah. Selain itu, terjadi penurunan keragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat karena berkurangnya konsumsi pangan bergizi seperti sayur, buah, polong-polongan dan ikan. Padahal di Indonesia terdapat setidaknya 100 jenis karbohidrat, 200 jenis kacang-kacangan, 450 buah dan 250 jenis sayuran dan jamur yang dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat Indonesia sesuai kekayaan alam lokal yang tersedia di daerahnya masing-masing.
Karena itu, transformasi sistem pangan perlu dimulai dengan mendorong perubahan pola pangan masyarakat Indonesia. Pertama dengan mendorong keragaman konsumsi pangan yang sesuai dengan keragaman pangan di daerah masing-masing seperti yang juga tertuang dalam Gerakan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Beragam, Bergizi Seimbang dan Aman (B2SA). Kedua, mendorong pola makan bergizi seimbang sesuai dengan kebutuhan nutrisi tubuh seperti yang tertuang dalam kampanye isi piringku yang dinilai oleh British Medical Journal merupakan salah satu panduan pola makan tersehat dan paling ramah lingkungan. Ketiga adalah menekan konsumsi gula dan garam yang terlalu berlebihan dan mengikuti pola makan yang sehat.
2. Produksi pangan berkelanjutan
Transformasi kedua adalah untuk mendorong produksi pangan yang berkelanjutan. Saat ini produksi pangan dunia menyumbang 1/3 dari emisi global yang berasal dari berbagai aktivitas mulai dari pembukaan lahan, produksi pangan, fase pengemasan, distribusi hingga limbah. Khusus di Indonesia, emisi dari sistem pangan dan tata guna lahan diperkirakan menyumbang 58% dari total emisi di Indonesia pada tahun 2019, dan kontribusi terbesar berasal dari pembukaan lahan. Selain menyebabkan emisi, pembukaan lahan terutama lahan hutan tentu saja menyebabkan hilangnya kekayaan biodiversitas, banjir, kekeringan, dan hilangnya polinator alami, seperti lebah atau kumbang dalam proses penyerbukan, untuk mendukung produksi pertanian. Hutan terutama adalah penyedia pangan secara langsung melalui tumbuh-tumbuhan, hewan semak, dan ikan.
Selain pembukaan lahan, permasalahan produksi pangan di Indonesia terjadi karena penggunaan pupuk kimia yang berlebih. Pada tahun 2021, dari total 8,87-9,55 juta pupuk bersubsidi yang disalurkan, hampir 80% adalah pupuk kimia. Padahal pupuk kimia menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan tanah, misalnya menurunnya kualitas unsur hara yang terkandung di dalam tanah, yang akan berdampak pada penurunan hasil produksi pertanian. Sejalan dengan waktu kondisi tanah yang hanya mendapatkan pupuk kimia akan mengalami pemadatan dan rentan erosi. Kondisi tanah juga akan menjadi semakin kering karena kemampuannya menahan air menurun.
Karena itu, transformasi menuju sistem produksi yang berkelanjutan juga perlu memperhatikan perlindungan lahan pertanian, perlindungan hutan sebagai penyedia pangan dan pendukung ekosistem pertanian berkelanjutan, penggunaan pupuk organik yang ramah lingkungan, serta dukungan kepada pangan lokal yang tersedia di wilayah masing-masing. Dengan begitu, emisi dari proses produksi hingga distribusi dapat dikurangi.
3. Susut dan limbah pangan
Dari segi konsumsi, diperlukan intervensi perubahan perilaku dari masyarakat karena keputusan pengaturan konsumsi masyarakat sangat berhubungan dengan pola perilaku masyarakat. Berkembangnya berbagai platform pemesanan makanan dan berbagai kemudahan pembelian makanan memberikan kemudahan untuk masyarakat dalam membeli makanan, tetapi juga meningkatkan kecenderungan kelebihan konsumsi makanan karena kemudahan yang didapat. Akhirnya kebiasaan tersebut meningkatkan jumlah timbulan sampah makanan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan masyarakat untuk mengurangi sampah makanan antara lain: menerapkan pola makan berkelanjutan, membeli hanya yang diperlukan, mengonsumsi imperfect food, menyimpan makanan dengan baik, mengerti label makanan, menyimpan makanan dalam jumlah kecil, menyimpan sisa makanan, mengkompos sisa makanan, menghargai makanan, dan mengonsumsi produk lokal.
Dengan intervensi yang tepat, langkah-langkah tersebut dapat mendorong perubahan perilaku masyarakat secara lebih masif. Oleh karena itu, diperlukan studi lebih lanjut untuk menemukan intervensi yang paling tepat bagi masyarakat setempat, sehingga upaya yang dilakukan bisa lebih tepat sasaran, baik dalam pemilihan saluran media, target sasaran utama perubahan perilaku, serta insentif bagi konsumen.
Di tahap produksi pertanian, kita dapat berfokus kepada produk-produk pertanian yang paling banyak terbuang saat proses produksi yaitu produk holtikultura, terutama sayur, buah-buahan, dan padi-padian. Berdasarkan proporsi timbulan susut dan limbah pangan, sayur-mayur, buah-buahan, dan padi-padian yang terbuang masing-masing sebesar 62,8%, 45,5% dan 13,4% dari total produksinya.
Intervensi dapat dimulai dengan mengembangkan standar baku perhitungan susut pangan di sisi produksi. Saat ini sudah tersedia Food Loss and Waste (FLW) Protocols yang dikembangkan oleh FAO, WRI, serta organisasi internasional lainnya yang tergabung dalam steering committee untuk FLW Protocols. Berbagai metode perhitungan yang tersedia tersebut tentu perlu diujicobakan pada konteks Indonesia, terutama untuk holtikultura dan sayur-sayuran agar tersedia data yang mencukupi di level mikro dan untuk mengidentifikasi intervensi pengurangan yang paling tepat bagi produk pertanian tersebut. Kehadiran standar baku perhitungan tentunya dapat memudahkan berbagai pemangku kepentingan untuk menemukan masalah serta menentukan strategi mengatasi permasalahan susut pangan.
4. Kolaborasi multipihak
Transformasi yang keempat, tetapi tak kalah penting, adalah mendorong adanya kerja sama multipihak dalam sebuah platform kolaborasi. Kompleksitas permasalahan pangan yang ada membutuhkan keahlian dan keterlibatan banyak pihak dengan berbagai latar belakang dan fokus pekerjaan.
Indonesia telah memiliki undang-undang yang terkait dengan penyelenggaraan pangan yaitu Undang-undang No. 18 tahun 2012 yang memandatkan bahwa penyelenggaraan sistem pangan di Indonesia wajib melibatkan partisipasi masyarakat secara terkoordinasi dan terintegrasi. Secara eksplisit, undang-undang tersebut memandatkan adanya keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan, pengembangan produksi pangan, dan sinergi kemitraan dalam mewujudkan cadangan pangan nasional.
Dalam konteks kebijakan saat ini, misalnya, dibutuhkan sinergitas dan kolaborasi multipihak untuk membuat perencanaan terkait pangan agar menjadi kebijakan yang terintegrasi. Selain itu, sebagai koalisi, KSPL juga mendorong kolaborasi antara 12 mitra utama yang masing-masing memiliki fokus dan latar belakang yang berbeda, yakni CIFOR-ICRAF, CIPS, EntreVA, GAIN Indonesia, Garda Pangan, IBCSD, KRKP, Parongpong, SYSTEMIQ, WRI Indonesia, Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial, dan Yayasan KEHATI.
Koalisi Sistem Pangan Lestari Mendukung Deklarasi COP28
Keempat pilar di atas, yang telah dikerjakan oleh KSPL sejak tahun 2019, ternyata juga menjadi perhatian dari 159 negara di dunia termasuk Indonesia pada COP28 pada pada Desember 2023. Indonesia dan negara-negara tersebut menandatangani COP28 UAE Declaration on Sustainable Agriculture, Resilient Food System and Climate Action yang mendeklarasikan:
- Meningkatkan adaptasi dan ketahanan pangan
- Mempromosikan ketahanan pangan dan nutrisi
- Mendukung pekerja di bidang pertanian dan sistem pangan yang terancam karena adanya perubahan iklim
- Manajemen air
- Memaksimalkan benefit dari iklim dan lingkungan melalui konservasi, proteksi, dan restorasi tanah dan ekosistem alam
Selain itu, pada COP 28 juga telah diluncurkan Koalisi Pangan dari beberapa negara yang bernama Alliance of Champions for Food Systems Transformation. Menekankan pentingnya kolaborasi multipihak dalam mendukung transformasi sistem pangan di dunia.
Poin-poin dalam deklarasi ini semakin mendukung WRI Indonesia sebagai sekretariat dari KSPL untuk terus bekerja terus mendukung terlaksananya transformasi pangan Indonesia menuju sistem pangan berkelanjutan di 2030. Perlu diingat, seluruh jenis penyelenggaraan sistem pangan harus dilaksanakan secara inklusif, kolaboratif, dan partisipatif, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan pangan yang terkait sebagaimana diamanahkan pada peraturan perundangan di Indonesia.