Aktivitas menuntut kita untuk terus berpindah, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu titik ke titik lain, dari satu kota ke kota lain, bahkan dari satu negara ke negara lainnya. Namun, apakah kita menyadari bahwa kegiatan tersebut berdampak besar bagi lingkungan?

Sebagian orang menghabiskan kebanyakan waktunya di perjalanan. Rata-rata penduduk Jakarta menghabiskan lebih dari 400 jam per tahun di jalanan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, baik dengan menggunakan transportasi umum maupun kendaraan pribadi. Faktanya, kendaraan-kendaraan ini menghasilkan polusi dan emisi yang memperburuk kualitas udara serta mengakibatkan perubahan iklim.

Meningkatnya jumlah kendaraan di Jakarta menempatkan sektor transportasi sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dibandingkan sektor lainnya. Di tahun 2012, sektor transportasi menyumbang 46 persen dari total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan ibu kota. Pada tahun 2030 mendatang, emisi gas rumah kaca diprediksi hanya akan menurun sedikit ke tingkat 43 persen. Selain menyebabkan perubahan iklim, polusi udara yang dihasilkan sektor transportasi juga berdampak signifikan pada tingkat kesehatan penduduk. Kondisi ini pada akhirnya menurunkan produktivitas pekerja dan meningkatkan biaya kesehatan.

Jakarta secara konsisten dinobatkan sebagai salah satu dari lima kota dengan tingkat polusi terparah di dunia. Para penduduk dan organisasi masyarakat sipil juga telah mendesak Gubernur Jakarta untuk mengambil langkah substansial untuk menurunkan tingkat polusi udara. Alhasil, Instruksi Gubernur No. 66/2019 terkait Pengendalian Kualitas Udara diberlakukan guna mengatasi polusi udara melalui perluasan kebijakan ganjil genap, revitalisasi sarana transportasi publik, memperketat aturan dan pengawasan terkait emisi dan polusi, pemanfaatan teknologi energi terbarukan, implementasi sistem jalan berbayar dan menggagas kegiatan penanaman pohon sebagai mekanisme untuk mengimbangi jumlah emisi yang dihasilkan.

Meski demikian, aturan ini tidak luput dari kritik. Contohnya, protes masyarakat terhadap perluasan wilayah ganjil genap lantaran mengganggu aktivitas mereka sehari-hari. Hal ini memberikan sedikit gambaran bahwa masyarakat belum terlalu memperhatikan masalah lingkungan. Sebuah survei mencatat bahwa satu dari lima orang Indonesia menyangkal bahwa perubahan iklim disebabkan oleh manusia. Melihat fakta ini, upaya untuk membawa isu iklim ke ranah yang lebih personal dan memfasilitasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam aksi pencegahan perubahan iklim sangat diperlukan. Meskipun emisi perseorangan tidak sebesar emisi perusahaan, masyarakat dapat mendorong investasi sektor swasta dan kebijakan pemerintah ke arah yang berkelanjutan.

Mengukur Emisi: Memahami Jejak Karbon

Sebagai salah satu emisi gas rumah kaca paling dikenal, emisi Karbon dioksida (CO2) merupakan yang paling mudah diukur. Di sektor transportasi, perhitungan CO2 ditentukan oleh karakteristik kendaraan (misalnya tipe kendaraan, efisiensi bahan bakar) dan karakteristik perjalanan (misalnya lama perjalanan, frekuensi perjalanan). Semakin jauh jarak perjalanan dan semakin banyak bahan bakar yang digunakan, emisi yang dihasilkan juga semakin besar. Oleh karena itu, mengendarai dan melakukan perjalanan dengan mobil atau sepeda motor pribadi akan menghasilkan lebih banyak emisi. Misalnya, jika Kamu bepergian sejauh 20 kilometer dengan mobil, 40 kilometer dengan bus atau 60 kilometer dengan kereta yang hanya berisikan beberapa penumpang, perjalanan tersebut akan menghasilkan lebih dari 4 kilogram emisi CO2. Jumlah emisi yang dihasilkan akan semakin besar mengingat tingginya jumlah penduduk di Jakarta dan kebutuhan mereka untuk bergerak.

Mengimbangi Emisi: Menanam dan Mengadopsi Pohon

Respons kebijakan yang komprehensif diperlukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di atmosfer. Terkait hal ini, ada sebuah cara yang bisa dilakukan untuk menebus emisi yang kita hasilkan. Hal ini disebut pengimbangan emisi karbon. Bagaimana cara melakukannya? Kita membayar setiap emisi yang kita hasilkan selama melakukan perjalanan.

Pengimbangan emisi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang paling mudah dan terjangkau adalah dengan menanam dan mengadopsi pohon. Perhitungan yang dilakukan oleh WRI Indonesia menunjukkan bahwa setiap orang hanya perlu menanam satu pohon mangga untuk menyerap emisi gas yang dihasilkan setiap kali melakukan perjalanan sejauh 1.500 kilometer dengan sepeda motor atau 8.000 kilometer dengan bus. Nantinya, ketika masyarakat sudah lebih sadar akan pentingnya mengurangi emisi dan memahami perlunya pengimbangan serta teknologi yang diperlukan telah tersedia, akan muncul lebih banyak lagi cara untuk mengimbangi emisi.

Mengukur emisi yang dihasilkan dan mencari tahu berapa banyak pohon yang perlu ditanam untuk mengimbanginya sangat mudah. Jika Kamu melakukan perjalanan sejauh 20 kilometer ke kantor dengan menggunakan mobil setiap harinya, Kamu akan menghasilkan 1.300 kilogram CO2 per tahun. Jika dikonversikan, Kamu hanya perlu menanam tiga pohon mangga untuk mengimbangi karbon yang dikeluarkan. Perlu dicatat bahwa berapa banyak pohon yang dibutuhkan bergantung pada jenis pohon yang ditanam. Jumlah emisi yang dihasilkan juga bisa menjadi lebih rendah jika perjalanan dilakukan tidak hanya dengan mobil pribadi tetapi juga transportasi umum seperti bus dan kereta api. Sebagai contoh, jika harus menempuh 20 kilometer pulang-pergi, Anda dapat berkendara dengan taksi sejauh 5 kilometer dan sisa perjalanan dilanjutkan dengan kereta api. Melalui cara ini, jumlah CO2 yang Anda hasilkan dalam setahun akan berkurang menjadi sekitar 900 kilogram, tergantung jenis mobil dan kereta yang digunakan. Pada akhirnya, emisi yang dihasilkan akan menjadi lebih rendah jika Anda menggunakan transportasi publik sepanjang perjalanan. Untuk mempermudah penghitungan, ada berbagai aplikasi yang bisa dimanfaatkan untuk melacak emisi yang Anda hasilkan selama perjalanan.

Cara menghitung dan mengimbangi emisi yang dihasilkan dari aktivitas transportasi semakin banyak dikenal dan diterapkan baik dalam berbagai acara maupun secara pribadi. Misalnya, dalam Kongres ISOCARP World Planning pada bulan September 2019 di Jakarta dan Bogor, WRI Indonesia bekerja sama dengan pihak penyelenggara dan Asosiasi Perencanaan Indonesia (Indonesian Association of Planners/IAP) untuk membuat konferensi ini bebas karbon. Kami menginformasikan jumlah karbon yang dihasilkan oleh aktivitas mereka kepada para delegasi dan mendorong mereka untuk mengimbanginya. Para peserta yang memanfaatkan transportasi lokal seperti kereta, taksi, dan bus diperkirakan menghasilkan rata-rata 19,5 kilogram CO2 dalam seminggu. Artinya, lebih dari 500 orang peserta yang menghadiri konferensi tersebut diprediksi menghasilkan lebih dari 9,5 ton CO2 dalam seminggu. Setidaknya, 2.000 pohon mangga perlu ditanam untuk mengimbangi emisi karbon tersebut.

Sekarang, Kamu sudah tahu bahwa aktivitas transportasi mencemari lingkungan. Kamu juga sudah tahu berapa jumlah pohon yang diperlukan untuk mengimbanginya. Di tengah kondisi krisis iklim saat ini, setiap orang harus terus meningkatkan upaya mereka setiap harinya, dengan mulai melakukan penanaman dan adopsi pohon untuk mengimbangi karbon yang dihasilkan. Dengan populasi mencapai 30 juta jiwa, Jakarta menghasilkan emisi karbon yang sangat besar, khususnya dari sektor transportasi. Upaya untuk mengimbangi produksi karbon secara individu tidak akan cukup. Pemerintah dan sektor swasta harus mencoba mengintegrasikan mekanisme pengukuran dan pengimbangan emisi ke dalam operasional mereka. Dengan begitu, mereka dapat memobilisasi aksi iklim lokal dengan melibatkan masyarakat dan pelanggan dan mendorong perubahan positif.