Mengurai Kompleksitas Urbanisasi dan Pembangunan Kota Berkelanjutan, Mendorong Solusi untuk Kota-Kota Indonesia Inklusif dan Tangguh
Kota terus menjadi magnet bagi masyarakat untuk melangsungkan kehidupan dan mencari penghidupan, mulai dari menempuh pendidikan, bekerja, membangun relasi keluarga, sosial, bersosialisasi, hingga membentuk aktualisasi diri lainnya. Di saat yang sama, seperti yang dilansir sebagai laporan sementara untuk target 11 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 11), pemulihan pascapandemi dan krisis iklim terus memberikan dampak yang tidak proporsional di kota-kota di Indonesia, di mana masyarakat miskin perkotaan menerima guncangan terbesar dengan kemampuan adaptasi yang minim. Tantangan pemenuhan SDG 11 semakin terjal. Pada tahun 2022, hampir 1,1 miliar orang tinggal di daerah kumuh atau kondisi yang mirip kumuh di daerah perkotaan, dan diperkirakan sekitar 2 miliar tambahan orang akan tinggal di daerah kumuh atau kondisi yang mirip kumuh dalam 30 tahun ke depan.
Di Indonesia, lebih dari 50% penduduk tinggal di kota dan angka tersebut diperkirakan akan terus mengalami peningkatan. Data World Bank (2019) memperlihatkan lebih dari 70% penduduk Indonesia akan menetap di kota pada tahun 2045. Tren urbanisasi ini memberikan dampak positif bagi ekonomi sebagaimana kota telah berkontribusi 60% bagi PDB nasional. Studi World Bank menemukan setiap kenaikan 1% tingkat urbanisasi dapat meningkatkan PDB sebesar 2,7% dan mengurangi hingga 1% kemiskinan. Saat ini, peningkatan PDB dari urbanisasi di Indonesia hanya mencapai 1,4% dan di saat yang sama terus meningkatkan ketimpangan.
Belum optimalnya pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi berdampak pada kemandirian kota, di mana banyak kota-kota di Indonesia yang saat ini belum memiliki kapasitas fiskal memadai. Baru 2% kota di Indonesia yang memiliki kapasitas fiskal dan mampu mandiri dalam membiayai lebih dari sebagian belanja daerah. Orientasi pembangunan untuk pertumbuhan dengan laju cepat yang terjadi saat ini belum sepenuhnya berpihak pada upaya menjamin kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Hal ini jelas nampak dalam celah pembangunan kota-kota yang belum memastikan akses layanan dasar, seperti air bersih, sanitasi, persampahan, dan energi yang terjangkau, terutama bagi masyarakat marginal di kota-kota Indonesia.
Saat ini, kota-kota Indonesia, seperti banyak kota berkembang di dunia lainnya, tengah dihadapkan pada tantangan terberat untuk membangun kembali pascapandemi, sambil terus mensinergikan pencapaian ekonomi dan kesejahteraan, kualitas kehidupan, dan risiko lingkungan.
Krisis Iklim Meningkatkan Kerentanan Kota-Kota Indonesia
Berdasarkan laporan IPCC 2023, krisis iklim di wilayah perkotaan telah memberikan dampak yang sangat kritis terhadap kehidupan manusia. Selain itu, kota-kota di dunia berkontribusi terhadap 75% yang dihasilkan, dengan mayoritas emisi yang dihasilkan berasal dari penggunaan energi. Sebagai negara berkembang (emerging economies) yang menaungi 42% populasi perkotaan di dunia, Indonesia bersama Tiongkok, India, Brazil, Meksiko, dan Afrika Selatan menghasilkan 41% emisi CO2 dari penggunaan bahan bakar fosil.
Beberapa dampak utama yang dirasakan perkotaan akibat krisis iklim dan emisi dari aktivitas pembangunan dapat dirasakan, salah satunya sebagai dampak peningkatan suhu ekstrem (dikenal dengan fenomena urban heat island yang dapat berujung pada kekeringan) yang memengaruhi masyarakat dari segi kesehatan, mata pencaharian, dan ketangguhan infrastruktur utama. Suhu yang ekstrem kian para hingga hampir mencapai 40 °C. Hal ini terbukti pada tahun 2023 lalu menjadi tahun terpanas setelah 2016, dengan suhu rata-rata global mencapai 14,98 °C atau 0,17 °C lebih panas dibandingkan tahun 2016. Sejalan dengan data tersebut, BMKG juga mengungkapkan beberapa kota di Indonesia mengalami kondisi suhu panas sepanjang April Mei 2024 ini, seperti di Deli Serdang 37,1 °C; Medan, Kapuas Hulu, Sidoarjo, dan Bengkulu 36,6 °C.
Data 10 tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan secara signifikan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi (banjir dan peningkatan permukaan air laut) akibat krisis iklim. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sejumlah kota pesisir yang rentan terhadap dampak krisis iklim. Analisis tahun 2015 menemukan 110 juta penduduk di 60 kota di Indonesia terpapar badai laut, tsunami, gempa bumi, dan kombinasi bencana lainnya. BAPPENAS memperkirakan Indonesia akan kehilangan PDB akibat krisis iklim sebesar Rp115 triliun pada tahun 2024. Prediksi lainnya mengungkapkan biaya banjir tahunan di ibu kota akan meningkat dari 322% menjadi 402% pada tahun 2050 seiring dampak krisis iklim diperparah dengan subsidensi lahan, menurunnya ruang terbuka hijau (RTH), dan faktor kerentanan lainnya. Berbagai dampak krisis iklim secara signifikan dialami oleh masyarakat miskin perkotaan karena sebagian besarnya bertempat tinggal di kawasan yang rentan terhadap banjir dan padat penduduk. Dengan demikian, krisis iklim turut andil dalam memperparah masalah kesenjangan di kota.
Di tengah segala tantangan kerentanan perkotaan akibat krisis iklim, kota berdaya dengan segala fasilitas infrastruktur dan sistem tata kelola pemerintahan yang inovatif dalam pengurangan emisi dan memperbaiki kualitas lingkungan. Analisis Coalitions for Urban Transitions (CUT) misalnya menunjukkan Indonesia dapat mengurangi emisi GRK, khususnya di perkotaan, sebesar 50% (253 MT CO2e) pada tahun 2030 dan 96% (790 Mt CO2e) pada tahun 2050 dengan menerapkan usaha-usaha rendah karbon di berbagai sektor, mulai dari transportasi hingga industri. Analisis dari sumber yang sama juga menjelaskan sebagian besar upaya mitigasi iklim kota-kota Indonesia menuju tahun 2050 lebih potensial terjadi di kota-kota dengan jumlah penduduk kurang dari satu juta. Sebagai perbandingan, Jakarta dengan jumlah penduduk lebih dari 5 juta jiwa hanya memiliki potensi iklim 7%. Sementara itu, kota-kota lainnya dengan penduduk 1–5 juta penduduk memiliki potensi mitigasi iklim sebesar 17%. Dengan demikian, diperlukan dukungan dan pemberdayaan yang dikelola oleh pemerintah pusat untuk kota-kota kecil yang saat ini masih memiliki minim kapasitas pendanaan dan sumber daya untuk secara efektif melakukan aksi mitigasi perubahan iklim.
Realita Kota-Kota Indonesia Saat Ini
Hasil studi komprehensif World Resources Institute yang mengusung ambisi besar untuk perwujudan kota-kota yang setara mencatat bahwa lebih dari 1,2 milyar masyarakat di kota-kota dunia tinggal di permukiman informal dan masuk dalam kategori masyarakat miskin perkotaan. Sebagai perbandingan, angka ini berarti 1 dari 3 orang penduduk kota-kota dunia mengalami krisis akses terhadap layanan dasar seperti hak atas rumah, air bersih, sanitasi, transportasi, hingga pemenuhan energi. Sementara itu, di negara berpenghasilan rendah, angka ini mencapai 2 dari 3 penduduk kota. Di Indonesia sendiri, merujuk pada data angkatan kerja nasional per Agustus 2023 lalu, 82,67 juta dari 147,71 juta penduduk merupakan pekerja informal. Hal ini sudah sepatutnya menjadi perhatian karena kelindan antara permasalahan ini dengan tantangan pemenuhan hak-hak dasar semakin memperburuk ketimpangan di perkotaan. Keadaan ini memberikan lensa baru dalam melihat kemiskinan kota, yang sepatutnya tidak dilihat sebatas pada sisi finansial atau perbedaan pendapatan, melainkan juga secara multidimensional. Berbagai tantangan perkotaan di Indonesia saat ini mencakup:
1. Dilema penyediaan air berish, banjir, dan penurunan muka air tanah
Urbanisasi mendorong pemanfaatan lahan untuk permukiman, infrastruktur transportasi, bangunan komersil, dll. demi kelangsungan aktivitas masyarakat. Pemanfaatan lahan berorientasi pembangunan semata belum secara holistik mempertimbangkan integrasi solusi alam sejak dini sehingga berdampak, salah satunya, pada penurunan muka air tanah dan banjir.
Air bersih adalah hak dasar namun, pada kenyataannya pemenuhan hak ini belum merata di kota-kota Indonesia. Hanya 42% rumah tangga memiliki akses terhadap pasokan air pipa dan 72% memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak. Sementara itu, akses masyarakat miskin perkotaan terhadap kedua layanan tersebut masing-masing hanya sebesar 9% dan 36%. Kelompok ini pun menjadi kelompok yang harus membayar air bersih 10–30 kali lebih mahal dibandingkan kelompok kelas menengah yang umumnya sudah terfasilitasi dengan air pipa. Saat ini, belum ada peraturan pemanfaatan air tanah yang progresif dan kondisi ini semakin mendorong pemanfaatan air tanah secara berlebih, yang memperparah penurunan lahan dan berdampak pada banjir.
2. Belum optimalnya layanan dan integrasi transportasi publik
Belum efisiennya pengelolaan dan integrasi transportasi publik antar moda dalam mengakomodasi aktivitas masyarakat, baik dalam maupun lintas kota, telah meningkatkan permintaan kendaraan pribadi yang berujung pada kemacetan. Kemacetan sendiri merongrong kota dengan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan. Studi World Bank (2019) menyebutkan Jabodetabek sebagai kawasan metropolitan termacet di Indonesia dengan kerugian ekonomi melebihi Rp41 triliun per tahun. Di masing-masing kota metropolitan seperti Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, dll., kerugian ekonomi akibat kemacetan melebihi Rp1,5 triliun per tahun.
3. Pengelolaan sampah yang belum memadai
Di Indonesia, per tahun 2020 sampah menjadi penyumbang emisi terbesar keempat dengan persentase sebesar 9,4% atau 138,21 miliar ton CO2e, setelah energi, termasuk subsektor transportasi (44%); penggunaan lahan (34%); dan pertanian (10%). Meskipin persentase ini tidak sebesar sektor lainnya, sampah menghasilkan gas metana (CH4) yang turut menjadi faktor pendorong perubahan iklim. Sumbangsih ini tidak lepas dari produksi sampah di tingkat kota yang tercatat oleh BPS pada tauhn 2019, sebagian besar pusat kota di Indonesia menghasilkan 8 juta ton sampah tiap harinya. Pesatnya urbanisasi memperkeruh tantangan kota dalam mengelola sampah. Kota Bandung, misalnya, merupakan salah satu kota utama dengan masalah penumpukan sampah yang serius. Pada tahun 2021, total produksi sampah yang setiap harinya mencapai 1.500 ton. Penumpukan ini berimplikasi pada menimbunnya sampah dan pengendapan tanah pada sebagian besar anak sungai di Kota Bandung hingga menyebabkan penyempitan aliran air sungai. Di Sungai Citarum, sekitar 1.500 ton sampah dari 12 kabupaten/kota mengalir ke sungai ini setiap harinya.
Dengan pengelolaan sampah berbasis sistem open dumping, penumpukan sampah di mayoritas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) secara terbuka juga berpotensi memicu kebakaran hingga ledakan akibat reaksi gas metana. Gas metana akan semakin mudah terbakar lantaran faktor iklim seperti musim kemarau atau cuaca yang panas. BNPB menyampaikan sepanjang 2023, 14 TPA di Indonesia mengalami kebakaran; 13 di antaranya berlokasi di Pulai Jawa, dan satu TPA di Kota Manado, Sulawesi Utara.
4. Polusi udara
Meningkatnya aktivitas produksi, industri, dan mobilitas di perkotaan telah menyebabkan polusi udara yang menjadi ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat. Di Jakarta, setiap hari 10 juta komuter dari kota-kota penyangga memasuki Jakarta, menambah jumlah penduduk dan kendaraan di jalan. Pada 2018, terdapat 20 juta kendaraan bermotor, termasuk 13 juta sepeda motor di Jakarta, dengan peningkatan 5% per tahun.
Studi emisi Jakarta tahun 2020 mengonfirmasi bahwa sektor transportasi menyumbang 67% emisi PM2.5, emisi PM 10, dan 84% emisi Black Carbon pada 2019, dengan sumber utamanya dari kendaraan berat. Menurut Vital Strategies dan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, 7.000 kasus kesehatan yang merugikan pada anak di bawah usia 5 tahun, termasuk kematian bayi stunting, lebih dari 10.000 penyebab kematian spesifik, dan lebih dari 5.000 rawat inap.
5. Kemiskinan dan ketimpangan sosial
Indonesia tengah mengalami peningkatan ketimpangan dan sangat besar terjadi di daerah perkotaan ketimbang perdesaan. Hampir 7% penduduk perkotaan hidup di bawah garis kemiskinan, dan jumlah yang hampir sama berada dalam kategori "hampir miskin". Indeks gini perkotaan di Indonesia meningkat dari 0,39 (2018) menjadi 0,41 (2023). Kerentanan yang dialami penduduk miskin ini umumnya adalah kondisi yang terlalu padat, tidak memiliki hak tenurial, buruknya akses terhadap layanan dasar, kualitas kesehatan yang rendah, dan ketergantungan terhadap perekonomian informal.
Kerangka Pikir Solusi untuk Transformasi Perkotaan
Dalam menjawab tantangan perkotaan, kota-kota Indonesia dapat menerapkan pendekatan yang didasarkan pada aspirasi untuk perubahan transformatif lintas sektor, dengan orientasi perubahan jangka panjang untuk peningkatan akses terhadap layanan dasar dan peluang sinergi pertumbuhan kota dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan, secara inklusif dan berkelanjutan.
Tiga ide besar yang menaungi aspirasi transformasi lintas sektor tersebut mencakup:
1. Fokus pada penyediaan layanan dasar
Kota-kota perlu menerapkan transformasi berupa intervensi desain dan infrastruktur, termasuk inovasi dalam model layanan kolaboratif dengan berbagai penyedia layanan untuk menutup celah ketimpangan lebih efektif.
2. Mengikutsertakan kelompok yang selama ini jarang dilibatkan
Produktivitas dan kualitas kesehatan perkotaan dapat ditingkatkan dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat kota, baik dari sektor informal maupun secara keseluruhan, termasuk implementasi proses partisipatif dalam pengumpulan data.
3. Memfasilitasi inovasi untuk perubahan
Transofrmasi perkotaan membutuhkan model pembiayaan, perencanaan, dan tata kelola yang memastikan investasi dan kebijakan ditargetkan secara efektif dan inklusif.
Penerapan Solusi untuk Transformasi Perkotaan
Berbagai pendekatan dan capaian telah dihasilkan dari kerja-kerja WRI Indonesia untuk mendorong solusi perkotaan yang inovatif, inklusif, dan berkelanjutan telah terangkum seperti di bawah ini:
1. Fokus pada penyediaan layanan dasar
1.1 Pendekatan komprehensif untuk mendukung mobilitas berkelanjutan
Mobilitas perkotaan yang berkelanjutan merupakan salah satu layanan dasar yang masih menghadapi tantangan dalam penerapannya di kota-kota Indonesia. Sebagai salah satu faktor penghasil emisi terbesar, transformasi di sektor ini semakin mendesak.
Mobilitas berkelanjutan didefinisikan sebagai penggunaan moda transportasi yang tidak berdampak pada lingkungan dan merupakan pendekatan perencanaan pembangunan wilayah perkotaan dengan mempertimbangkan tujuan keberlanjutan. Pendekatan kebijakan yang komprehensif dan koheren menjadi kunci, serta dukungan desain dan infratsruktur yang befokus pada kebutuhan pergerakan manusia, bukan kendaraan bermotor pribadi. Di WRI Indonesia, kami menggunakan pendekatan Avoid, Shift, Improve (ASI) yang ditujukan untuk mempromosikan solusi mobilitas demi penurunan emisi GRK yang signifikan, mengurangi konsumsi energi, mengurangi kemacetan, dan pada akhirnya menciptakan kota yang lebih layak huni.
Sebagai sebuah instrumen, avoid atau pembatasan efisiensi dalam transportasi secara keseluruhan dengan mengurangi kebutuhan perjalanan atau meminimalisir penggunaan kendaraan pribadi. Fenomena urban sprawling menyebabkan semakin jauhnya jarak tempuh perjalanan masyarakat ke pusat aktivitas kota sehingga mendorong penggunaan transportasi pribadi yang dianggap lebih efisien. Dalam upaya mengurangi kebutuhan perjalanan menggunakan transportasi pribadi, WRI Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jakarta dalam implementasi Low Emission Zone (LEZ) atau Kawasan Rendah Emisi (KRE) di Kota Tua. WRI Indonesia memfasilitasi dukungan teknis kepada Pemerintah Jakarta melalui peningkatan kesadartahuan masyarakat terhadap implementasi KRE di Kota Tua serta kajian teknis tentang potensi replikasi KRE di lokasi lainnya, dan perluasan cakupan KRE yang sudah ada. Kedua hal ini mendorong masyarakat untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi ke moda transportasi yang lebih ramah lingkungan, seperti transportasi publik, sepeda, dan berjalan kaki.
Terkini, inisiatif kami untuk peningkatan kualitas udara Kota Jakarta lewat Clean Air Catalyst (CAC) mendorong inklusivitas dalam optimalisasi penerapan KRE melalui pendekatan bottom-up,melibatkan masyarakat berpendapatan rendah, pekerja informal, dan perempuan sebagai kelompok paling terdampak akibat polusi udara dan penerapan KRE. Sekitar 30 perwakilan kelompok berpartisipasi aktif dalam "lingkar temu belajar" untuk mendeteksi sumber polusi udara sekaligus membangun solusi yang inklusif atau permasalahan udara.
Instrumen shift atau pengalihan merupakan upaya meningkatkan efisiensi perjalanan individu dengan mengalihkan penggunaan moda transportasi yang boros energi dan polutif (seperti kendaraan bermotor pribadi) ke moda yang lebih ramah lingkungan seperti berjalan kaki, sepeda, dan transportasi publik. WRI Indonesia, melalui Program Kota Masa Depan UK PACT, menekankan transformasi jangka panjang menuju ruang perkotaan yang berorientasi pada mobilitas aktif dan rendah emisi pada wilayah perkotaan metropolitan pesisir melalui kajian perluasan layanan angkutan umum, strategi percepatan ekosistem kendaraan listrik, dan desain konseptual revitalisasi ruang terbuka perkotaan.
Improve merupakan efisiensi kendaraan dan bahan bakar, serta pengoptimalan efisiensi operasional transportasi publik. Saat ini, instrumen improve tengah dikembangkan kota-kota di Indonesia yang sedang bertransisi melalui adopsi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB), dimulai dari elektrifikasi transportasi publik (seperti bus). WRI Indonesia, melalui program TUMI E-Bus Mission telah membuat peta jalan bus listrik sebagai salah satu langkah untuk mempercepat transisi bus listrik di Indonesia. Dengan adanya transisi menuju adopsi bus listrik sebagai moda transportasi publik, sekitar 15 megaton CO2 akan diturunkan selama masa pakai bus listrik. Ekosistem yang dikembangkan pada program TUMI E-Bus Mission ini dapat membantu upaya elektrifikasi jenis transportasi lainnya di masa mendatang.
1.2 Solusi Berbasis Alam (SBA) untuk ketangguhan iklim
Krisis iklim berdampak signifikan pada peningkatan risiko bencana hidrometeorologi seperti cuaca ekstrem, banjir, hingga kekeringan. Adopsi pendekatan SBA melalui investasi dan pembangunan infrastruktur hijau serta integrasi dengan infrastruktur tradisional (grey infrastructure) dengan konsep hibrida dapat menjadi opsi terbaik, khususnya untuk diimplementasikan di kawasan perkotaan. Berbagai bentuk intervensi seperti restorasi lansekap di sepanjang aliran sungai, pembangunan fasilitas kolam tampungan air tambahan, hingga pemanfaatan ganda RTH sebagai area retensi air menjadi beberapa contoh adopsi SBA di dalam kawasan perkotaan. Melalui Cities4Forests, WRI Indonesia berupaya membantu kota-kota di Indonesia dalam mengintegrasikan SBA ke dalam perencanaan pembangunan.
Pohon merupakan salah satu bentuk SBA yang patut dipertimbangkan dalam strategi iklim di tingkat kota. Pohon memberikan berbagai jasa ekosistem yang mendukung ketahanan kota terhadap krisis iklim. Pohon mengurangi dampak dari air hujan dengan mendorong infiltrasi ke dalam tanah, sehingga mengurangi volume dan limpasan air di permukaan tanah. Selain itu, jika dikaitkan dengan kualitas udara, pohon melalui daunnya dapat menyaring artikel polutan di udara.
Selain peran-peran tersebut, pohon juga mampu mengurangi emisi karbon dengan menyerap sekaligus mengubahnya menjadi biomassa. Meskipun dampaknya dinilai kecil jika dibandingkan dengan banyaknya emisi karbon yang dihasilkan sektor lain di kota, seperti energi dan transportasi, keberadaan pohon di kota merupakan bentuk SBA yang mudah untuk diterapkan dan perlu dipertimbangkan sebagai salah satu upaya strategi mitigasi perubahan iklim di tingkat kota.
2. Mengikutsertakan kelompok yang selama ini jarang dilibatkan
2.1 Pengelolaan sampah makanan berbasis komunitas
Sampah makanan merupakan jenis sampah yang produksinya terus berkembang pesat, dihasilkan di tingkat ritel dan individu di kota-kota Indonesia. Konsumsi rumah tangga berkontribusi terhadap 80% sampah makanan dan kota metropolitan menjadi penyumbang terbesarnya dengan rata-rata produksi sebanyak 0,38 kg/orang/hari, disusul oleh kota besar 0,21 kg/orang/hari, dan kota sedang-kecil sebesar 0,088 kg/orang/hari. Kota Bandung sebagai salah satu kota metropolitan di Indonesia yang menghasilkan sampah 1.766 ton/hari dan 44,51%-nya merupakan sampah sisa makanan dan daun.
Melalui inisiatif Safe and Sound Cities (S²Cities), kami melakukan survei dan diskusi terarah bersama pemuda Kota Bandung, dan menemukan bahwa penumpukan sampah menjadi salah satu perhatian utama pemuda. Didukung oleh data terkait dominasi sampah sisa makanan yang ada, Imah Maggot Bantaran lewat Ideathon Inovasi Sosial yang difasilitasi oleh program pelatihan kepemudaaan inklusif, S²Cities, merancang solusi pengelolaan sampah sisa makanan berbasis komunitas dengan memanfaatkan maggot Black Soldier Fly (BSF). Dengan visi #NolSampahkeTPA, inisiatif pemuda ini bekerja sama dengan komunitas lokal Cika-Cika Bandung dan masyarakat setempat untuk turut aktif dalam pengelolaan sampah sisa makanan.
Selain itu, sebagai bagian dari Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) WRI Indonesia mendorong transformasi sistem pangan yang terintegrasi dan berkelanjutan, dimulai dari pengikutsertaan aspirasi dan solusi dari tingkat lokal, di komunitas, untuk masukan kebijakan di tingkat nasional. KSPL mengusung prinsip gotong royong dan bekerja di berbagai lini, mulai dari riset, audiensi kebijakan, hingga peningkatan kapasitas untuk pemuda, petani, pembuat kebijakan tentang isu ketahanan pangan.
2.2 Bekerja bersama pemuda perkotaan untuk penciptaan ruang hidup yang aman dan layak huni
Kota yang aman dan nyaman adalah kota yang dibangun melalui partisipasi aktif seluruh masyarakat dan mengikutsertakan masyarakat yang secara historis cenderung ditinggalkan seperti pemuda perkotaan.
Mengedepankan prinsip GESI (Gender Equality and Social Inclusion), WRI Indonesia bersama para mitra mengembangkan inisiatif S²Cities untuk mendorong partisipasi pemuda kota, dalam mengembangkan solusi-solusi inovatif guna menciptakan Kota Bandung yang lebih aman dan sejahtera. Sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, pembangunan kota Bandung tetap tak terelakkan dari tantangan pemenuhan hak warga kota untuk kehidupan kota yang layak dan sejahtera, menjadikan Bandung sebagai laboratorium inovasi sosial dari program ini. Terinspirasi dari tangga partisipasi skema Arstein, program ini menerapkan pendekatan komprehensif yang mendorong anak muda menjadi pemimpin dalam solusi permasalahan kota, S²Cities menempatkan anak muda sebagai agen perubahan yang berdaya dalam pembangunan Kota Bandung melalui 4 tahapan pelaksanaan program.
Identifikasi permasalahan kota dari sudut pandang anak muda dengan melakukan konsultasi bersama entitas anak muda serta pemerintah Kota Bandung menjadi langkah utama untuk dapat menghasilkan isu prioritas demi intervensi yang tepat dan efektif. Tahap selanjutnya fokus kepada inkubasi ide untuk inobasi dan dukungan sistem pengelolaan dan alih pengetahuan, serta pendampingan dari para ahli. Selanjutnya, program ini mendorong anak muda untuk melakukan sinergisasi ide inovasi dengan agenda prioritas pemerintah kota Bandung, termasuk aksi komunitas dan mitra yang relevan untuk memperbesar potensi perluasan cakupan intervensi, pembiayaan, dan dampak.
Beberapa inisiatif anak muda dalam program S²Cities yang telah terlaksana adalah placemaking Taman Film dan Lapangan Futsal Bawet, Kota Bandung dan pemberdayaan wirausahawan muda berbasis aplikasi. Sepanjang 2023–2024, S²Cities mendorong solusi atas permasalahan sampah, perundungan, dan ruang publik di Kota Bandung.
3. Memfasilitasi inovasi untuk perubahan
Guna mendorong transformasi kota-kota di Indonesia menuju kota tangguh dan berkelanjutan, inovasi untuk perubahan, mencakup pembiayaan dan kerja sama multipihak, baik di tahap perencanaan, implementasi, hingga pengelolaan yang efektif dan memberi dampak, perlu mendapat prioritas.
Salah satu model inovasi pembiayaan iklim yang didorong oleh WRI Indonesia adalah melalui platform berbasis teknologi, berupa aplikasi bernama EMISI (Emission Reduction and Sequestration Initiative/Inisiatif Pengurangan dan Penyerapan Emisi). Aplikasi ini menghubungkan pembiayaan dari level individu untuk mengurangi karbon dan disalurkan kepada komunitas di tingkat tapak untuk merestorasi hutan melalui aksi penanaman pohon. EMISI juga melakukan edukasi iklim lewat teknologi dengan menyediakan kalkulator untuk perhitungan dari jejak karbon dari kegiatan individu sehari-hari.
Selain itu, dalam proses perencanaan lahan perkotaan,efektivitas dan transparansi merupakan kunci dalam memastikan penggunaan lahan yang terhubung dengan layanan dasar. Untuk ini diperlukan urun daya berbasis koalisi multipihak terdiri dari pemerintah di berbagai tingkat, organisasi masyarakat sipil, organisasi pembangunan, swasta, hingga pemuda, dan masyarakat. Bersama Ikatan Ahli Perencana (IAP), Cities4Forests melakukan peningkatan kapasitas kepada pemerintah kota dalam mengintegrasikan solusi berbasis alam dalam rencana tata ruang, mengeluarkan policy brief untuk mengarusutamakan solusi berbasis alam dalam perencanaan tata ruang, serta memfasilitasi Kementerian ATR/BPN dalam mengintegrasikan modul solusi berbasis alam dalam pedoman rencana detail tata ruang yang akan digunakan sebagai pedoman kota/kabupaten di Indonesia.
Di Bali, kami bekerja sama secara strategis dengan Pemerintah Provinsi Bali untuk penetapan data dasar (baseline), indikator serta strategi ketercapaian aksi iklim berupa Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) dan Rencana Aksi Daerah Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai 2022–2026 (RAD KBLBB). RPRKD mendorong penentuan ambisi, target serta strategi penurunan emisi berbasis data yang komprehensif, sebagai referensi untuk mengawal aksi yang tepat untuk penurunan emisi di berbagai sektor strategis di Bali. RAD KBLBB sendiri memuat strategi yang mencakup lima pilar utama, mencakup riset, infrastruktur, industri baterai, tenaga kerja, dan komunikasi untuk penerapan kendaraan listrik berbasis baterai yang efektif sebagai solusi transportasi berkelanjutan. Berbagai kolaborasi juga dilaksanakan multipihak, merangkul aktor non-pemerintah kota untuk mengembangkan kebijakan serta aksi emisi nol bersih bersih dengan berpedoman pada nilai-nilai lokal kehidupan Bali melalui “Koalisi Bali Emisi Nol Bersih”. Partisipasi aktif masyarakat perkotaan juga difasilitasi lewat forum rutin “Bali Bicara” yang memiliki aspirasi menjadi penghubung masyarakat dengan berbagai pemangku kepentingan lintas generasi untuk membicarakan isu iklim, transportasi, dan kehidupan bermasyarakat lainnya.
Urbanisasi dan krisis iklim menuntut aksi cepat, tepat, lewat kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan kota-kota Indonesia yang tangguh. Fokus pada tiga hal; penyediaan layanan dasar, pengikutsertaan kelompok yang secara historis terpinggirkan dalam perencanaan dan pembangunan, serta inovasi dalam pembiayaan, perencanaan, dan tata kelola, kota dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnyanya dan mengurangi dampak buruk krisis iklim. Hal ini diterjemahkan dalam pendekatan komprehensif yang berbasis data, mendorong integrasi alam dan manusia, serta bangunan, partisipasi aktif masyarakat, hingga model pembiayaan inovatif. Komitmen bersama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat diperlukan untuk mewujudkan transformasi perkotaan yang berkelanjutan dan adil. Melalui upaya ini, kita dapat menciptakan kota-kota masa kini yang lebih baik, sekaligus menciptakan masa depan perkotaan yang lebih baik bagi generasi mendatang.