'Menyelamatkan Kayu yang Tenggelam': Realita Masyarakat Adat
Artikel ini sebelumnya diterbitkan di The Jakarta Post pada 13 Januari 2020.
Sebelum revolusi industri masuk ke Indonesia, masyarakat lokal berpegang teguh pada nilai-nilai adat. Kini, norma adat mulai ditinggalkan karena perkembangan ekonomi dan pembangunan.
Berbagai inisiatif di tingkat nasional dan daerah sudah dilakukan sebagai upaya untuk menyuarakan hak-hak masyarakat adat, sehingga pada 2013, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hak-hak masyarakat adat harus diakui oleh negara. Inisiatif perhutanan sosial, misalnya, memperjuangkan pengakuan hak-hak masyarakat adat melalui skema Hutan Adat. Selanjutnya, melalui Undang-Undang Desa tahun 2014, pemerintah berusaha untuk menghidupkan kembali pemerintahan adat atas dasar hak-hak adat setempat. Undang-Undang ini disambut baik oleh pemerintah daerah, termasuk di kabupaten Siak di Riau.
Pada 2015, pemerintah kabupaten Siak mengeluarkan peraturan yang mengatur pembentukan delapan desa adat di kabupaten tersebut. Pengakuan hak-hak adat ini diharapkan dapat meningkatkan peran pemerintahan adat dan melestarikan adat yang hampir punah. Akan tetapi, peraturan tersebut memiliki beberapa kelemahan mendasar. Masyarakat setempat menggunakan istilah “menyelamatkan kayu yang tenggelam” untuk menggambarkan upaya luar biasa besar yang dibutuhkan untuk mengembalikan sesuatu yang telah lama hilang ini.
Setidaknya ada tiga tantangan yang menghambat penerapan peraturan ini. Pertama, kurangnya pengakuan akan wilayah adat. Perubahan sistem pemerintahan dari dusun ke desa serta perkembangan aktivitas industri seperti bahan bakar minyak dan minyak kelapa sawit perlahan-lahan menggerus wilayah adat dan struktur tradisional yang mengatur kehidupan masyarakat adat setempat.
Kedua, masyarakat yang semakin majemuk akibat perkembangan infrastuktur dan kemajuan ekonomi yang sangat cepat dan kemajuan ekonomi juga memiliki peran dalam perubahan komposisi sosial masyarakat. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah Siak serta peraturan-peraturan mengenai perkampungan adat lainnya seringkali terbentur keberagaman masyarakat yang semakin meningkat dalam mengatur penerapan sistem budaya masyarakat adat. Aturan budaya masyarakat adat saat ini sudah semakin dilupakan karena besarnya populasi pendatang dalam masyarakat akibat migrasi.
Ketiga, kurangnya dokumentasi budaya masyarakat adat. Saat adat masih menjadi rujukan utama dalam kehidupan masyarakat yang relatif homogen, semua aspek kehidupan diatur oleh aturan adat.
Rangkaian aturan ini biasanya diturunkan dari generasi ke generasi, dari mulut ke mulut, tidak secara tertulis. Para tokoh dan pemimpin adat menjadi rujukan utama masyarakat dalam mencari petunjuk untuk menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, adat perlahan memudar saat para tokoh dan pemimpin adat ini meninggal dunia dan generasi muda mulai kesulitan mencari nasihat dari para tokoh yang memiliki pengetahuan tentang sistem adat dan budaya ini.
Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang harus diambil untuk memastikan bahwa peraturan daerah yang dibuat dapat mengampu masyarakat adat secara efektif. Pertama, pengambil keputusan harus berusaha untuk benar-benar memahami kondisi masyarakat lokal dan mengukur aspek kehidupan masyarakat yang dapat dikelola melalui sistem pemerintahan adat ini. Peraturan juga harus dikembangkan dari bawah.
Untuk menggantikan aturan adat yang mungkin sudah pudar atau tidak tercatat, peraturan baru mungkin perlu dibuat dan hal ini harus disepakati oleh semua pihak. Kemudian, dalam penerapannya, pemerintah juga perlu mendorong diikutsertakannya nilai-nilai perlindungan lingkungan dalam peraturan ini.
Kedua, diperlukan adanya komite adat yang bersifat inklusif. Untuk itu, komunikasi dan kolaborasi yang intensif harus dilakukan dengan unsur-unsur masyarakat adat, seperti tokoh masyarakat dan pejabat desa, agar dapat mempercepat pembentukan lembaga tradisional di setiap desa sasaran.
Hingga kini, banyak masyarakat lokal di Indonesia yang masih kesulitan, dan seringkali gagal, untuk melestarikan nilai-nilai tradisional mereka. Oleh karena itu, upaya menghidupkan kembali budaya yang telah lama hilang ini akan sulit dilakukan dari atas. Aturan dan perundang-undangan yang mengatur pengakuan masyarakat adat dan hak ulayat tidak akan efektif tanpa dukungan masyarakat itu sendiri.
Berkaca pada semangat gotong royong masyarakat Indonesia, untuk “menyelamatkan kayu yang tenggelam”, kita harus bekerja sama dengan semua orang di sekitar kita dan setiap