Pantau Jejak Penebangan Hutan Ilegal Edisi Kedelapan: Lima Wilayah Teratas untuk Dipantau
Edisi Kedelapan ini menyajikan 5 Wilayah Teratas untuk Dipantau yang terindikasi mengalami penebangan hutan ilegal selama periode 1 Oktober – 31 Desember 2019.
Pantau Jejak menggunakan metode dan data GLAD Alert dari Global Forest Watch yang dianalisis setiap periode tiga bulanan.
#1 Desa Kuala Tolak, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat: 591,21 Ha
Wilayah terindikasi #1 berada dalam kawasan hutan produksi dengan tutupan hutan rawa sekunder. Wilayah ini terlihat berbatasan dengan dengan blok-blok besar penanaman dan jaringan jalan teratur di sebelah utara, yang terindikasi merupakan wilayah perkebunan besar. Pengamatan citra satelit resolusi tinggi mengindikasikan adanya penebangan hutan untuk pembukaan lahan, disertai pembakaran lahan sejak awal September hingga akhir November 2019. Tujuan pembukaan lahan belum dapat diidentifikasi karena lahan belum dimanfaatkan sampai akhir periode pengamatan.
Mendukung hasil pengamatan citra satelit tersebut, pada Februari lalu, Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Kementarian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan kayu olahan ilegal di suatu kilang gergaji kayu di Desa Kuala Tolak. Kasus ini sudah dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum Kejati Kalimantan Barat.
#2 Desa Palingkau, Kecamatan Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah: 566,82 Ha
Wilayah terindikasi #2) berada dalam Taman Nasional Tanjung Puting dengan tutupan hutan rawa sekunder. Wilayah ini berdekatan dengan wilayah konsesi perkebunan sawit, yang berada di barat wilayah terindikasi. Pengamatan citra satelit resolusi tinggi mengindikasikan pola pembukaan lahan yang telah berlangsung sejak bulan September 2019 di mana kebakaran terjadi di sekitarnya. Penyebab pembukaan lahan belum dapat teridentifikasi karena lahan belum dimanfaatkan hingga akhir periode pengamatan.
Pada Mei 2019 lalu, Organisasi Save Our Borneo melaporkan praktik pemegang izin perkebunan sawit yang membuka lahan di luar wilayah hak atas tanah miliknya dan merambah kawasan hutan produksi di sekitar Danau Sembuluh. Walaupun tidak menyebutkan secara jelas di desa mana praktik tersebut dilakukan, laporan tersebut memberikan informasi tentang adanya indikasi penebangan hutan ilegal di lanskap sekitar Danau Sembuluh.
#3 Desa Sungai Nanjung, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat: 428,67 Ha
Penebangan hutan illegal terindikasi di Desa Sungai Nanjung, yang merupakan bagian dari wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit XXXI Kalimantan Barat dengan tutupan hutan rawa sekunder. Pengamatan citra satelit resolusi tinggi menunjukkan pembukaan lahan diawali dengan penebangan pohon secara tebang pilih, diikuti dengan pembakaran lahan sejak September hingga Oktober 2019. Tujuan pembukaan hutan yang berdekatan dengan konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) ini belum dapat diidentifikasi karena lahan belum dimanfaatkan untuk penanaman sampai akhir periode pengamatan.
Pada awal tahun 2020, diberitakan bahwa orangutan masuk ke wilayah perkebunan warga Kecamatan Matan Hilir Selatan, Ketapang. Hal ini disinyalir terjadi akibat rusaknya hutan yang menjadi habitat orangutan karena aktivitas pertambangan dan penebangan hutan ilegal.
#4 Desa Persiapan Rababaka, Kecamatan Woja, Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat: 370,53 Ha
Wilayah terindikasi #4 ini terlihat sebagai perluasan wilayah terindikasi #2 pada Pantau Jejak Edisi Ketujuh, yang merupakan hutan lahan kering primer. Wilayah ini berdekatan dengan konsesi IUPHHK-HTI serta berada dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit XIX Nusa Tenggara Barat. Pengamatan citra satelit resolusi tinggi menunjukkan pola pembukaan lahan namun belum terlihat tujuannya karena lahan belum ditanami sampai akhir periode pengamatan. Khususnya, bagian tenggara wilayah ini terdeteksi oleh GLAD Alerts sebagai pembukaan hutan, akan tetapi pengamatan citra satelit menunjukkan bahwa di area ini tidak terjadi pembukaan hutan, sehingga peringatan GLAD alert di wilayah ini dianggap sebagai positif palsu (false positive) yang disebabkan oleh terjadinya pergantian musim selama periode pengamatan. Positif palsu adalah keadaan ketika terdapat deteksi penebangan hutan di suatu wilayah, tetapi setelah dilakukan pengecekan data disimpulkan tidak terjadi penebangan hutan. Pada Oktober 2019, dilaporkan bahwa wilayah perkotaan Dompu diselimuti kabut asap akibat kebakaran hutan untuk pertama kalinya, yang diduga merupakan dampak pembukaan hutan untuk lahan pertanian di Kabupaten Dompu.
#5 Desa Simpang Gaung, Kecamatan Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau: 334,89 Ha
Wilayah terindikasi #5 merupakan kawasan hutan produksi yang memiliki tutupan hutan rawa sekunder. Wilayah ini berdekatan dengan wilayah konsesi IUPHHK-HA dan IUPHHK-HTI, serta berada dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit XXVII Riau. Pengamatan citra satelit resolusi tinggi menunjukkan bahwa penebangan hutan telah terjadi sejak September 2019 dan berlanjut hingga November 2019, diikuti dengan pembakaran lahan. Pola yang terlihat adalah penebangan hutan untuk pembukaan lahan, namun tujuan spesifiknya belum dapat teridentifikasi karena lahan belum dimanfaatkan hingga akhir pengamatan.
Pada bulan Maret 2019 lalu, diberitakan perihal dugaan warga diserang oleh Harimau Sumatera di Desa Simpang Gaung. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menyatakan bahwa kejadian ini terkait dengan rusaknya habitat harimau Sumatra akibat penebangan liar. Selain itu, Organisasi Walhi Riau menyatakan habitat harimau rusak akibat penebangan hutan dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan industri kehutanan di Kabupaten Indragiri Hilir, khususnya di Kecamatan Gaung.
Langkah Selanjutnya
Daftar Kelima Wilayah Teratas tersebut masih berupa indikasi, yang dihasilkan dari analisis menggunakan sejumlah instrumen yakni GLAD Alert, Peta Status Kawasan Hutan, dan Peta Tutupan/Penggunaan Lahan. Namun demikian, hasil analisis ini dapat menjadi petunjuk dalam menentukan wilayah hutan prioritas untuk dipantau dari ancaman penebangan ilegal. Berikut ini langkah-langkah yang perlu ditempuh sesegera mungkin.
1. Verifikasi Lapangan dan Tindakan untuk Mencegah Perluasan Kegiatan Penebangan Hutan Ilegal di Kelima Wilayah Terindikasi.
Wilayah terindikasi #4 terlihat sebagai pembukaan hutan yang merupakan lanjutan atau perluasan aktivitas sebelumnya pada wilayah terindikasi #2 di edisi Pantau Jejak ketujuh. Wilayah ini perlu perhatian khusus lantaran berisiko tinggi mengalami penebangan ilegal terus menerus yang dapat meluas ke area hutan di sekitarnya. Selain itu, kelima Wilayah Terindikasi juga menunjukkan urgensi akan mitigasi kerusakan lingkungan karena empat wilayah berupa rawa, satu wilayah berada di kawasan konservasi, dan tercatat adanya bencana lingkungan hidup di sekitar wilayah terindikasi, seperti kebakaran hutan dan konflik satwa liar dengan manusia.
Oleh karena itu, institusi yang berwenang dalam perlindungan kawasan hutan di kelima wilayah terindikasi, seperti unit-unit KPH terkait, BKSDA, Direktorat Jendral KLHK, Dinas Kehutanan Provinsi setempat, dan Kepolisian setempat, secara kolaboratif perlu segera melakukan verifikasi lapangan dan tindakan pencegahan terhadap perluasan penebangan dan pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal. Urun daya masyarakat setempat dengan memberikan informasi dari lapangan juga dapat memperkuat proses verifikasi tersebut. Jika verifikasi lapangan tidak dilakukan dengan segera, penebangan hutan ilegal akan semakin masif dan dampak negatif kerusakan lingkungan tidak dapat terelakkan. Semakin luas kawasan hutan yang telah dibuka dan dimanfaatkan untuk kegiatan non-kehutanan, upaya penanggulangan dan pemulihan akan semakin sulit dilakukan.
2. Setelah Verifikasi Lapangan Dilakukan, Upaya Penanganan Harus Mempertimbangkan Aspek Sosial-Ekonomi Masyarakat Setempat.
Indikasi penebangan hutan di Kelima Wilayah Terindikasi tersebut sarat dengan kegiatan ekonomi masyarakat berskala kecil. Oleh karena itu, setelah verifikasi dilakukan, upaya penanganan perlu mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat. Mekanisme penanganan yang dilakukan sebaiknya memuat skema penyelesaian konflik, perhutanan sosial, reforma agraria, dan penegakan hukum yang adil. Tidak hanya itu, penelusuran pelaku juga perlu dilakukan sampai kepada dalang (pelaku intelektual) yang mengambil keuntungan dari kegiatan penebangan hutan secara ilegal tersebut.