Asia Tenggara adalah rumah bagi lebih dari 54% lahan gambut dunia, lahan yang memiliki peran utama dalam aksi iklim. Namun, sekitar 25 juta hektare lahan gambut tropis di Asia Tenggara telah mengalami deforestasi dan pengeringan selama tiga dekade terakhir, menyisakan hanya 6% lahan gambut yang belum tersentuh.

Ini menjadi pukulan besar bagi kawasan tersebut. Ekosistem lahan basah terestrial membantu mengatur aliran air dengan mengumpulkan air hujan selama musim hujan dan melepaskannya secara perlahan selama musim kemarau. Ekosistem ini juga menjadi habitat utama bagi spesies tumbuhan dan hewan yang terancam punah dan langka, serta berperan penting bagi mata pencaharian masyarakat setempat.

Selain itu, gambut juga berperan penting dalam siklus karbon global, yakni untuk penyimpanan karbon; lebih dari tiga perempat stok karbon gambut global (52 Gigaton) disimpan di lahan gambut Asia Tenggara. Degradasi lahan gambut memerlukan perhatian global.

Lahan gambut telah terancam selama bertahun-tahun karena tingginya permintaan akan lahan pertanian, dan sebagian besar hutan rawa gambut di Asia Tenggara dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Lebih dari 45% hutan rawa gambut yang telah ditebangi atau dikeringkan menjadi sangat mudah terbakar dan karena api di lahan gambut dapat menyebar di bawah permukaan, pembakaran lahan gambut sulit untuk dipadamkan. Ini kemudian mengakibatkan pelepasan karbon— ke atmosfer — oleh karena itu, salah satu penyerap karbon jangka panjang paling efisien di Bumi juga menjadi sumber emisi dalam jangka pendek.

Lahan gambut terdegradasi dan kebakaran gambut di Indonesia. Foto: Nopri Ismi

Salah satu strategi utama untuk memantau dan memelihara lahan gambut adalah pemetaan. Dengan pemetaan, para ahli dapat mengetahui lokasi lahan gambut dan secara akurat memantau perubahan kondisi lahan gambut untuk membantu menghindari degradasi dan merencanakan restorasi yang diperlukan secara efektif. Selain itu, pemetaan lahan gambut akan membantu negara untuk merencanakan dan mengelola ekosistem kaya karbon ini dengan lebih baik, memitigasi perubahan iklim dan beradaptasi secara lebih efektif. Tanpa peta gambut yang layak dan mencakup skala nasional, lahan gambut tidak dapat dikelola dengan mudah.

Akan tetapi, belum semua negara di Asia Tenggara mengembangkan peta gambut untuk mendukung pengelolaan lahan gambut. Metode pemetaan gambut berbasis satelit dapat menjadi solusinya.

ahan Gambut yang Masih Belum Terpetakan di Asia Tenggara

Pemerintah Indonesia, negara yang memiliki luas lahan gambut terbesar di Asia Tenggara, meluncurkan peta gambut nasional pada 2019. Malaysia juga memiliki peta gambut yang telah disusun dengan baik, baik di Kalimantan maupun Semenanjung Malaysia. Akan tetapi, 23% dari 23.6 juta hektare lahan gambut di daerah tersebut masih belum dipetakan dan tidak ada peta gambut yang diakui di tingkat nasional oleh negara-negara Asia Tenggara lainnya. Di beberapa daerah, pemetaan gambut sedang dilakukan melalui penelitian/proyek independen — seperti Mekong Peatlands Project.

Estimasi sebaran lahan gambut di negara-negara Asia Tenggara

Peta interaktif ini menggambarkan sebaran lahan gambut di tingkat nasional untuk Indonesia dan Malaysia, serta estimasi sebaran lahan gambut pada skala global yang didasarkan pada PEATMAP untuk negara Asia Tenggara lainnya. Silakan kunjungi peopleforpeat.org untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.

Peran penting pemetaan seluruh lahan gambut di kawasan, dengan menyediakan peta gambut di tingkat nasional, merupakan salah satu target yang disebutkan dalam Strategi Pengelolaan Lahan Gambut ASEAN (APMS) 2006-2020. APMS ditujukan untuk memandu negara-negara ASEAN dalam mengelola lahan gambut secara berkelanjutan serta mengurangi kebakaran dan kabut asap terkait dengan kerangka Perjanjian ASEAN tentang Polusi Asap Lintas Batas yang disepakati pada tahun 2002.

Sayangnya, keterbatasan — termasuk kurangnya kapasitas dalam memantau perkembangan implementasi APMS; penganggaran tidak konsisten di tingkat nasional; serta kurangnya tenaga kerja, kapasitas teknis, dan metodologi standar untuk memetakan lahan gambut — membuat perkembangan dalam pemetaan berjalan lambat di negara-negara dengan luas lahan gambut yang lebih kecil.

Faktor-faktor lain yang menghambat perkembangan pemetaan antara lain:

  • Definisi gambut/lahan gambut yang beragam: Penetapan definisi kelas gambut dan definisi lainnya yang konsisten antar negara-negara Asia Tenggara menjadi salah satu tantangan utama. Saat ini, beberapa negara di Asia Tenggara —seperti negara-negara Mekong di Myanmar, Republik Demokratik Rakyat Laos (PDR) dan Kamboja, belum memiliki definisi gambut yang diakui di tingkat nasional.

  • Kurangnya kesadaran: Kurangnya pengetahuan dan kesadaran, baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat, tentang isu-isu lahan gambut yang terjadi di beberapa negara Asia Tenggara (seperti Filipina, Vietnam dan Laos). Pengembangan dan penerapan kebijakan dan strategi pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, serta mendidik masyarakat tentang pentingnya melestarikan ekosistem menjadi salah satu faktor kunci untuk membantu melestarikan lahan gambut di Asia Tenggara.

  • Akses yang sulit: Banyak lahan gambut tropis di Asia Tenggara tidak dapat diakses, sehingga mempersulit pemantauan di lapangan.

  • Tantangan metodologis (biaya dan waktu): Metodologi yang saat ini banyak digunakan untuk memetakan lahan gambut adalah pengukuran di lapangan. Metodologi ini membutuhkan biaya yang tinggi, padat karya, dan membutuhkan banyak data pengeboran gambut yang memakan waktu lebih lama untuk melakukan pemetaan gambut di lapangan. Misalnya, dibutuhkan sekitar 100 - 2.500 tenaga kerja untuk melakukan verifikasi di lapangan bagi area seluas 70.000 hektare agar dapat membuat peta dengan skala 1:50.000 dan 1:10.000, survei diperkirakan membutuhkan waktu 20 hari. Estimasi biaya ang dibutuhkan untuk melakukan verifikasi di lapangan adalah $0,3 -$0,5/ha ($21.000 - $35.000 untuk area seluas 70.000 hektare).

Pemetaan Gambut Berbasis Satelit Dapat Membantu Memetakan Lahan Gambut Asia Tenggara Secara Efektif

Pemetaan gambut yang komprehensif sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang luas dan status lahan gambut, dan kemudian meningkatkan kesadaran untuk melindungi gambut. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan definisi gambut/lahan gambut, mengikuti klasifikasi tanah yang paling banyak diadopsi oleh negara-negara di dunia, seperti The World Reference Base for Soils (WRB) dan Soil Taxonomy berdasarkan klasifikasi dari United States Department of Agriculture Natural Resources Conservation Service atau sistem klasifikasi lain yang diakui.

Metode pemetaan gambut baru, canggih dan berbasis satelit — menggunakan penginderaan jauh dan teknologi geo-spasial — dapat digunakan di seluruh Kawasan untuk memetakan lahan gambut guna mendukung pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Selain meningkatkan akses ke daerah yang sulit dijangkau, metode ini akan mengurangi kebutuhan untuk melakukan pemantauan lapangan hingga 75%, sehingga proses ini dapat dilakukan secara lebih efisien dan hemat biaya.

Akan tetapi, validasi data tetap diperlukan. Penggabungan metode penginderaan jauh dan pengukuran lapangan* — seperti pengamatan tanah dan verifikasi di lapangan** — akan membantu penyusunan peta distribusi lahan gambut yang komprehensif dengan akurasi yang memadai dan ketidakpastian yang terukur.

Pemetaan satelit telah digunakan untuk memetakan lahan gambut di Sumatra Timur, Bengkalis, Basin Kongo, Lahan Gambut Boreal, dan diimplementasikan oleh RSS (Remote Sensing Solution) dan para mitra melalui Indonesian Peat Prize Competition.

Pemetaan gambut berbasis satelit dan verifikasi di lapangan. Sumber: Global Forest Watch

Pendekatan yang Lebih Terpadu Dapat Meningkatkan Pemetaan Gambut

Pengelolaan lahan gambut di Asia Tenggara adalah masalah kompleks yang perlu diselesaikan secara terpadu, tidak hanya di tingkat regional/nasional tetapi juga di tingkat daerah/provinsi. ASEAN memprakarsai proyek Sustainable Management of Peatland Forests in Southeast Asia (SEAPeat) yang didukung oleh Uni Eropa selama tahun 2011-2015 yang memasukkan pemetaan lahan gambut sebagai salah satu kegiatannya. Tiga peta gambut nasional untuk Kamboja, Laos dan Myanmar akan dibuat melalui Pengelolaan Ekosistem Lahan Gambut Berkelanjutan di Negara-negara Mekong (GEF Mekong Peatlands Project)***. Peta-peta ini akan disiapkan dengan analisis dari citra satelit dan survei lapangan.

Pemetaan gambut berbasis satelit adalah peluang yang menjanjikan bagi Asia Tenggara untuk membantu melestarikan hutan rawa gambut yang tersisa dan mencegah agar lahan gambut yang sudah terdegradasi tidak menjadi semakin parah. Berbagai aktor — dari pemerintah daerah hingga organisasi regional, sektor swasta hingga organisasi internasional — perlu bekerja sama dalam mendanai pemetaan gambut untuk memastikan bahwa metode ini diterapkan secara merata di seluruh kawasan. Kolaborasi antara pihak ketiga untuk mendukung lembaga nasional sangat dibutuhkan agar peta gambut tersedia di tingkat nasional di semua negara Asia Tenggara dan membantu mencapai target iklim.


CATATAN AKHIR:

  • *Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa lahan gambut terfragmentasi oleh tata guna lahan dan relatif datar, sehingga memerlukan citra satelit dengan resolusi yang tinggi (mis. Lidar). Dengan metode ini, kebutuhan survei lapangan dapat dikurangi hingga 75%.

  • **Verifikasi di lapangan adalah kegiatan memverifikasi data penginderaan jauh yang dikumpulkan melalui citra satelit dengan mengumpulkan informasi di lapangan, melalui pengamatan dan pengukuran di lapangan, untuk membandingkan gambar yang diperoleh dengan data aktual untuk suatu lokasi.

  • ***Peta ini akan diproduksi dalam skala kecil (1:1,000,000 untuk Kamboja dan Laos; 1:1,250,000 untuk Myanmar).