Tulisan ini awalnya dipublikasikan di The Jakarta Post.

Pada saat lebih dari 80 negara, termasuk Indonesia, dengan cepat bergabung dalam Perjanjian Paris, hal ini menunjukkan bahwa perubahan iklim bukanlah sesuatu untuk diremehkan. Walau tanpa dilengkapi mekanisme penegakan hukum, Perjanjian Paris merupakan suatu upaya bersama menurunkan emisi karbon global dan menandakan suatu momentum bersejarah, saat Cina dan Amerika Serikat, dua negara penghasil karbon terbesar dunia, sepakat untuk mengesampingkan perselisihan mereka dan bergabung dalam kerjasama iklim.

Bulan ini, para pihak dalam kesepakatan tersebut akan berkumpul di Maroko dalam Konferensi Para Pihak ke-22 (COP22) untuk  Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Untuk mencapai target negara dalam menurunkan emisi karbon, para negara telah menetapkan strategi iklim nasionalnya atau Niatan Kontribusi Nasional (NDC), namun pertanyaan yang lebih besar adalah apa yang dibutuhkan untuk dapat mencapai NDC?

Untuk mendukung negara berkembang mencapai NDC-nya, negera maju telah berjanji memberikan dana hingga USD 100 miliar per tahun, namun negara maju seperti Indonesia harus meningkatkan kesiapan finansial iklimnya agar mampu mengelola dana tersebut.

Untuk meningkatkan kesiapan keuangan iklim Indonesia, negara harus memiliki mekanisme pendanaan yang efektif untuk membagikan dana pada tingkat nasional dan lokal. Sudah ada beberapa upaya yang dibangun, termasuk diantaranya Indonesia Climate Change Trust Fund, rancangan instrumen pendanaan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) untuk pembayaran berbasis kinerja, dan rencana mengembangkan dana khusus untuk kegiatan lingkungan.

Akan tetapi, dana tersebut belum mendapatkan pengakuan internasional untuk mendapatkan dan mengelola keuangan iklim global. Kurangnya informasi mengenai upaya mitigasi dan adaptasi yang sedang dikembangkan, belum mumpuninya mekanisme monitoring, dan penundaan penyaluran dana yang lama seringkali berakibat pada terbatasnya dukungan internasional untuk Indonesia. Salah satu upaya menanggapi keterbatasan ini adalah dengan membangun lembaga negara sebagai pelopor yang siap terakreditasi untuk keuangan iklim global seperti Green Climate Fund (GCF). Sebagai dana iklim internasional terbesar, GCF ditunjuk sebagai mekanisme finansial untuk mendukung Perjanjian Paris dan mengelola sumber daya dari negera berkembang untuk implementasi NDC.

Masalah lain dengan keuangan iklim Indonesia adalah bahwa saat ini, sebagian besar aliran dana iklim internasional masih mengalir ke kementerian dan lembaga pusat (sebesar 97 persen menurut laporan CPI), dan hanya sedikit yang masuk ke lembaga di tingkatan daerah, walaupun berbagai tindakan terkait iklim diterapkan pada tingkatan daerah.

Seharusnya, ada sinergi yang lebih kuat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu dengan kebijakan yang ditetapkan pada tingkat nasional dan keluaran yang dicapai dan diawasi pada tingkat daerah. Mitigasi iklim harus masuk akal bagi pemerintah daerah guna mempercepat implementasinya.

Dengan melihat mekanisme transfer pendanaan Indonesia, kita dapat menelusuri beberapa alternatif. Secara keseluruhan, kesadaran pemerintah daerah mengenai pembiayaan iklim masih terbatas pada pemanfaatan APBD dan DAK untuk isu dan upaya lingkungan. Opsi lain yang mungkin dapat dilakukan untuk mempercepat pendanaan global pada tingkat daerah adalah melalui kerangka hibah atau pinjaman yang disalurkan melalui Kementerian Keuangan berdasarkan referensi kementerian terkait dan disetujui oleh BAPPENAS. Selain itu, Kementerian Keuangan juga dapat menggunakan kegiatan budget tagging-nya sebagai upaya pengawasan transfer pendanaan. Sistem Skor dan Atribut untuk Anggaran Pembangunan Rendah Emisi (LESS) yang dikembangkan untuk melacak pengeluaran mitigasi iklim di Indonesia dapat mengidentifikasi seluruh anggaran yang dialokasikan dan pengeluaran nyata untuk mitigasi iklim dan menilai kontribusi per unit anggaran untuk mencapai target penurunan emisi.

Selain pendanaan iklim, Indonesia membutuhkan suatu pengembangan kuat untuk mengimplementasikan NDC. Indonesia belum mengidentifikasi tindakan khusus dan menjelaskan bagaimana Indonesia akan mencapai target 29 hingga 41 persen penurunan target dalam NDC. Indonesia akan perlu menyeleraskan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang sudah ada dengan NDC dan menjelaskan target penurunan bagi setiap provinsi dengan rinci untuk menerjemahkannya sebagai Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Skema penerapan NDC juga perlu memastikan bahwa aksi perubahan iklim sebagai isu lintas sektoral diarusutamakan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan.

Terakhir, Indonesia perlu memiliki mekanisme verifikasi yang tepercaya untuk mengukur penurunan emisi yang sebenarnya. Mekanisme verifikasi ini harus menjadi bagian dari sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) nasional yang memonitor dan melaporkan penurunan emisi gas rumah kaca sebagai hasil dari tindakan iklim.

Penurunan emisi yang terverifikasi akan mengakibatkan kompensasi keuangan mengalir ke dalam negeri sebagai insentif untuk penurunan emisi. Sistem MRV tersebut harus tersambung dengan instrumen pendanaan untuk memastikan penyaluran insentif keuangan berlangsung secara akuntabel dan transparan.

Dengan adanya Pangkalan Data Nasional untuk Pengawasan Perubahan Iklim (National Registry on Climate Change Oversight) yang baru-baru ini diluncurkan, Indonesia berupaya menyusun sebuah pangkalan data tunggal tingkat nasional untuk secara sistematis mengumpulkan kegiatan mitigasi yang dapat dibandingkan dari semua aktor, melintasi sektor dan provinsi.

Sistem pangkalan data terkoordinasi ini sangat penting untuk menghindari risiko penghitungan ganda aliran dana karbon. Sebagai contoh, donor seharusnya tidak menyalurkan pembayaran ganda untuk kegiatan proyek REDD+ yang sama yang dilaporkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Contoh serupa lainnya adalah penurunan karbon dari proses industri yang dilaporkan oleh Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian - penurunan karbon tersebut seharusnya tidak menerima pendanaan ganda.

Contoh di atas menunjukkan bahwa platform daftar tindakan mitigasi, sistem MRV nasional, dan instrumen pendanaan berperan penting untuk memastikan pencatatan aksi iklim yang efektif serta memverifikasi penurunan emisi karbon yang dihasilkan aksi tersebut, dan untuk menopang prosedur penyaluran pembayaran untuk karbon.

COP22 yang akan dilaksanakan merupakan waktu untuk menunjukkan komitmen Indonesia dalam mengimplementasikan NDC. Dengan Perjanjian Paris yang telah diratifikasi dan dukungan internasional yang telah terkumpul, penting bagi Indonesia untuk mentransformasi kesiapannya, sebelum dan sesudah Marrakesh.