Laporan Iklim IPCC terbaru menyebutkan kemungkinan adanya peningkatan suhu bumi mencapai 1,5 °C dalam 10 tahun ke depan. Kondisi ini dikhawatirkan berdampak pada wilayah pesisir dengan meningkatnya ancaman bencana yang lebih ekstrem seperti sea level rise dan banjir pesisir. Ekosistem pesisir, seperti salt marshes (rawa asin) dan mangrove menjadi salah satu solusi terbaik untuk mengurangi ancaman tersebut. Hal ini kemudian menjadi salah satu agenda prioritas dalam pembangunan nasional beberapa tahun ke depan.

Mangrove sebagai ekosistem penting pesisir mampu melindungi wilayah tersebut dari bencana alam. Strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang sesuai dapat meningkatkan ketahanan pesisir dari dampak perubahan iklim, sekaligus mendukung ketahanan ekonomi yang berkelanjutan. Manfaat langsung dan tidak langsung yang disediakan ekosistem mangrove memberikan keuntungan bagi manusia disekitarnya. Hal ini dikenal sebagai jasa ekosistem. Potensi yang terkandung dalam ekosistem tersebut dapat diterjemahkan melalui sebuah nilai moneter yang dihitung berdasarkan tujuan pemanfaatannya menggunakan pendekatan valuasi ekonomi.

The Millenium Ecosystem Assessment (MEA) mengartikan jasa ekosistem sebagai keuntungan-keuntungan yang diperoleh manusia dari adanya suatu ekosistem. Empat kategori utama jasa ekosistem, yaitu; penyediaan (provisioning), pengaturan (regulating), budaya (cultural), dan pendukung (supporting).

Peran mangrove sebagai benteng pertahanan alami bagi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan salah satu nilai manfaat dari jasa pengaturan. Jasa pengaturan terdiri atas berbagai proses yang terjadi dalam ekosistem untuk menjaga kondisi lingkungan guna mendukung kehidupan. Secara fisik, struktur pohon mangrove mampu melindungi daratan dari gempuran gelombang laut dan angin yang kencang. Sistem perakarannya berfungsi menangkap dan menahan sedimen sehingga mampu mempertahankan formasi garis pantai, mencegah abrasi, intrusi air laut, dan mampu menjaga kualitas air. Mangrove juga mampu menyerap dan menyimpan karbon lima kali lebih banyak dari hutan hujan tropis. Potensi tersebut berkontribusi besar untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam Pembangunan Rendah Karbon Indonesia.

Namun, peran hutan mangrove di atas belum dapat dihargai dengan baik oleh masyarakat di wilayah pesisir karena kurangnya pengetahuan terkait potensi jasa ekosistem mangrove secara menyeluruh. Seringkali manfaat tidak langsung tersebut terabaikan karena masyarakat cenderung mengutamakan manfaat langsung yang disediakan hutan mangrove, sehingga nilai dan fungsi hutan mangrove sering tidak terkuantifikasi dalam perhitungan sebagai nilai sumber daya.

Nilai Sumber Daya Ekosistem Mangrove

Berkaca dengan kondisi mangrove yang ada saat ini, peran valuasi ekonomi dan neraca sumber daya alam serta lingkungan sangat diperlukan untuk:

1. Memberikan nilai kuantifikasi terhadap jasa pengaturan yang disediakan ekosistem mangrove

Studi valuasi ekonomi mangrove untuk perlindungan pantai menjadi nilai jasa yang paling umum diperhitungkan dengan menggunakan metode avoided damage dan replacement cost. Secara umum, perhitungan replacement cost dilakukan dengan menggunakan estimasi biaya per hektar yang diperlukan untuk membangun pemecah gelombang. Sebagai contoh, estimasi nilai ekonomi mangrove di wilayah pesisir India berada di angka yang cukup rendah berkisar 177 USD/ha, sedangkan nilai ekonomi mangrove di Thailand berada di angka yang sangat tinggi yaitu 10.158 – 12.392 USD/ha.

Di Indonesia, perhitungan nilai ekonomi mangrove cenderung terfokus pada nilai guna langsung untuk produksi atau konsumsi. Sebagai contoh, PERMEN-LHK Nomor P.64 Tahun 2017 mematok harga kulit kayu bakau untuk perhitungan ganti rugi sebesar Rp300.000 dan jenis kayu bakau bulat sebesar Rp135.000/m3. Studi jasa ekosistem mangrove telah banyak dilakukan, namun hanya dalam cakupan desa ataupun kabupaten. Karenanya, peranan mangrove untuk melindungi pantai, khususnya dalam cakupan nasional sering tidak terhitung nilai sumber dayanya dan cenderung terabaikan. Sementara itu, keberadaan hutan mangrove di Indonesia telah terbukti dapat meredam terjangan tsunami di sebagian wilayah Teluk Palu, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018.

2. Meningkatkan apresiasi, kesadaran, dan kepedulian terhadap ekosistem mangrove

Pengelolaan secara parsial dengan melihat mangrove dari sisi nilai guna langsung semata akan mereduksi perannya dalam menunjang sistem ekonomi. Nilai ekonomi jasa pengaturan ekosistem mangrove selama ini belum dapat terhitung dengan baik. Hal ini menyebabkan adanya kecenderungan bagi masyarakat maupun pihak swasta untuk melakukan kerusakan terhadap hutan mangrove akibat kurangnya informasi nilai penting mangrove bagi wilayah pesisir. Adanya harga yang tepat atas nilai jasa pengaturan ekosistem mangrove akan membantu meningkatkan apresiasi, kesadaran, dan kepedulian yang tinggi terhadap ekosistem mangrove.

3. Menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan terkait

Contoh penilaian valuasi ekonomi mangrove yang telah dibahas sebelumnya dapat diadaptasi di Indonesia dalam cakupan yang luas. Perhitungan ekonomi secara menyeluruh terhadap ekosistem mangrove (baik nilai guna langsung maupun tidak langsung) menjadi hal yang penting dilakukaan serta merupakan indikator prioritas dalam RPJMN 2019 – 2024. Selain itu, pemahaman konsep valuasi ekonomi ini dapat menjadi pedoman bagi pembuat kebijakan untuk menciptakan kelembagaan yang inovatif khususnya untuk pemanfaatan sumberdaya alam yang efektif, efisien, dan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan valuasi ekonomi erat hubungannya dengan keselarasan antara konservasi sumberdaya alam dengan pembangunan ekonomi.

Implementasi Valuasi Ekonomi

Melihat besarnya peran ekonomi dari ekosistem mangrove, pemerintah Indonesia saat ini telah meluncurkan 7 perangkat pengelolaan laut, dan salah satu perangkat tersebut adalah neraca sumber daya laut. Instrumen ini nantinya tidak hanya menghitung nilai ekonomi ekosistem mangrove saja, tetapi juga ekosistem lainnya seperti terumbu karang dan padang lamun. Neraca sumber daya laut merupakan kegiatan yang didukung oleh lintas organisasi, diantaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial, Kementerian Keuangan, Badan Pusat Statistik, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, serta Global Ocean Account Partnership.

Sejalan dengan itu, upaya yang dapat dilakukan pemerintah dalam proses pengimplementasian valuasi ekonomi adalah dengan terus meningkatkan penyediaan data dan mendorong adanya penghitungan jasa ekosistem seperti perlindungan wilayah pesisir dan potensi cadangan karbon. Indonesia dapat mulai merancang penerapan pembayaran berbasis cadangan karbon atau carbon credit dalam mangrove untuk menambah pemasukan negara. Pengendalian izin usaha dan pembangunan di dalam hutan mangrove serta moratorium hutan primer (termasuk ekosistem mangrove) menjadi salah satu upaya lainnya terkait dengan penanganan alih fungsi hutan mangrove. Selain itu, menyelaraskan pola ruang di darat dan laut dapat menjamin terjaganya kelestarian ekosistem mangrove serta ikut melindungi produktivitas masyarakat.

Selanjutnya, valuasi ekonomi mangrove melalui peningkatan pengelolaan aset laut dan pesisir menjadi salah satu strategi untuk menjalankan transisi menuju ekonomi biru serta pembangunan berkelanjutan. Dengan adanya valuasi ekonomi, maka peran mangrove dapat terhitung secara baik serta meningkatkan kesadaran bagi pemerintah, pihak swasta, maupun publik terkait dengan penggunaan, konservasi, dan restorasinya. Oleh sebabnya, kerjasama dan koordinasi antar instansi serta lembaga terkait dalam perhitungan valuasi ekonomi mangrove perlu dilakukan, khususnya dalam hal keterbukaan dan penggunaan akses data.