Ringkasan

Tumpang tindih penggunaan dan ketidakpastian kepemilikan lahan lazim terjadi di Indonesia. Inisiatif Satu Peta di Tingkat Desa (ITUPEDE) mendukung Kebijakan Satu Peta Indonesia dalam mengatasi permasalahan tata kelola lahan, terutama melalui pemetaan partisipatif. ITUPEDE membantu masyarakat adat Gajah Bertalut memetakan batas wilayahnya dan menyempurnakan perencanaan penggunaan lahan berdasarkan kearifan lokal. Inisiatif ini membantu memperjelas batas-batas lahan dan memetakan wilayah secara lebih inklusif.

Temuan Utama

Temuan-temuan kami menunjukkan bahwa praktik pengelolaan lahan tradisional yang diterapkan masyarakat adat Gajah Bertalut mengutamakan aspek perlindungan hutan. Berdasarkan pengamatan lapangan kami, masyarakat adat tersebut sebenarnya dianggap melakukan pembalakan liar, yang menyebabkan sejumlah perwakilan pemerintah skeptis untuk mengakui hak mereka atas tanah. Kami menyelidiki kearifan lokal Gajah Bertalut terkait pengelolaan lahan untuk memahami situasi ini secara lebih mendalam. Hasilnya adalah, meskipun masyarakat menebang pohon-pohon di dalam wilayahnya, hal ini dilakukan berdasarkan kearifan lokal yang menitikberatkan keberlanjutan dalam pengelolaan hutan dan menjunjung unsur kepemilikan bersama. Kearifan lokal ini tercermin lewat sistem imbo atau zonasi (lihat Tabel RE-1).

Berdasarkan pengamatan kami, ITUPEDE membantu masyarakat adat Gajah Bertalut memetakan wilayahnya dan menyempurnakan perencanaan penggunaan lahannya. Dengan memfasilitasi masyarakat melalui pemetaan partisipatif, batas wilayah menjadi lebih jelas dan prosesnya menjadi lebih inklusif. Sebagaimana ditunjukkan dalam Peta RE-2, hasil pemetaan ini melahirkan kesepakatan masyarakat adat yang menetapkan larangan penuh atas deforestasi di imbo gano (zona hutan larangan) dan larangan parsial di zona baru tertentu, seperti di imbo pemanfaatan (zona hutan pemanfaatan) dan imbo cadangan (zona hutan larangan sementara). Di kedua zona baru ini, ekstraksi sumber daya diizinkan— termasuk penebangan pohon—tetapi memerlukan izin dari para tetua adat dan bukan untuk tujuan komersil. Wilayah yang ditetapkan sebagai imbo cadangan secara khusus dijaga untuk pemanfaatan oleh generasi mendatang.

Kami menemukan bahwa, dari 2001 hingga 2020, masyarakat adat secara konsisten membatasi deforestasi sesuai kearifan lokal, berdasarkan analisis data kehilangan tutupan pohon dan peringatan GLAD (Global Land Analysis and Discovery) dari kumpulan data Global Forest Watch. Temuan ini menunjukkan bahwa kearifan lokal sudah menjadi landasan yang kuat bagi perlindungan hutan di wilayah tersebut, jauh sebelum intervensi ITUPEDE. Gambar RE-1 menunjukkan tren kehilangan tutupan pohon di berbagai zona Gajah Bertalut. Sepanjang 2001–2019, kehilangan tutupan pohon umumnya terjadi di imbo perkebunan. Zona ini memiliki 10 peringatan GLAD yang terdeteksi pada 2020, yang masih diklasifikasikan sebagai “probable loss” atau tidak terkonfirmasi benar. Zona-zona seperti imbo gano, imbo cadangan, dan imbo pemanfaatan, mengalami kehilangan tutupan pohon yang lebih rendah atau tidak sama sekali. Tim ITUPEDE memvalidasi bahwa kehilangan tutupan pohon di imbo gano sepanjang 2015–2016 disebabkan oleh kebakaran hutan secara alami, bukan oleh masyarakat.

Kami menemukan bahwa, berkat bukti spasial yang dikumpulkan melalui ITUPEDE, masyarakat adat dapat meningkatkan kemampuan negosiasi terkait pengakuan hak atas tanah. Pemerintah kabupaten menjadi lebih reseptif terhadap masyarakat adat dan membatalkan keputusan-keputusan terdahulu yang selama ini membatasi hak-hak masyarakat adat; SK Bupati kemudian diterbitkan pada akhir 2018, yang mengakui masyarakat adat Gajah Bertalut dan hak mereka atas tanah. Oleh karena itu, kami percaya bahwa materi-materi yang dihasilkan melalui proses ITUPEDE, seperti peta, berfungsi sebagai langkah awal untuk mencapai titik temu antara para pemangku kepentingan, untuk memulai pengakuan hutan adat oleh pemerintah, dan untuk memperkuat pelaksanaan Kebijakan Satu Peta.

Kami menemukan bahwa masyarakat adat memerlukan negosiasi lebih lanjut untuk mengatasi kendala hukum terkait hak hutan adat. Terlepas dari pengakuan pemerintah kabupaten, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan bahwa masyarakat adat Gajah Bertalut perlu diakui dalam PERDA sebelum hutan adat dapat disahkan. Ketentuan ini membawa tantangan politik karena membutuhkan persetujuan DPRD setempat.

Ringkasan Utama

  • Penggunaan lahan yang tumpang-tindih dan ketidakpastian tenurial lazim terjadi di Indonesia. Situasi ini berdampak buruk bagi perlindungan lingkungan dan membatasi kemampuan masyarakat adat dalam menegosiasikan hak mereka atas tanah. Penetapan Suaka Margasatwa Rimbang Baling di sebagian lahan tempat masyarakat adat Gajah Bertalut hidup merupakan cerminan masalah ini—dan cerminan sistem tata kelola hutan dan lahan yang tidak memadai.
  • Inisiatif Satu Peta di Tingkat Desa (ITUPEDE) mendukung Kebijakan Satu Peta Indonesia dalam mengatasi permasalahan tata kelola lahan, terutama melalui pemetaan partisipatif.
  • ITUPEDE membantu masyarakat adat Gajah Bertalut memetakan wilayahnya dan menyempurnakan perencanaan penggunaan lahan berdasarkan kearifan lokal. Inisiatif ini membantu memperjelas batas-batas lahan dan memetakan wilayah secara lebih inklusif. Kesepakatan yang membatasi deforestasi di wilayah tertentu diberlakukan dan diimplementasikan sesuai kesepakatan.
  • Bukti spasial dan dokumentasi yang dikumpulkan oleh ITUPEDE mendorong pemerintah daerah untuk memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat Gajah Bertalut; hal ini kemudian mendorong pembatalan keputusan-keputusan terdahulu yang membatasi hak-hak masyarakat adat. Meski demikian, agar pemerintah pusat dapat secara resmi mengakui masyarakat adat, peraturan daerah (perda) perlu dikeluarkan oleh DPRD.