More than 80 million Indonesians rely on forests for their livelihoods. Photo credit: Daniel Murdiyarso/CIFOR
Lebih dari 80 juta masyarakat Indonesia tergantung kehidupannya kepada hutan. Sumber foto: Daniel Murdiyarso/CIFOR.

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Jakarta Post. Artikel ini ditulis bersama Dino Patti Djalal, Duta Besar Republik Indonesia dan anggota board WRI.

Mengakhiri ketidakpastian dalam beberapa bulan terakhir, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono membuat langkah berani minggu lalu untuk memperpanjang moratorium hutan di Indonesia. Instruksi Presiden yang baru menambahkan dua tahun lagi untuk perlindungan terhadap lebih dari 43 juta hektar hutan primer dan lahan gambut – sebuah wilayah seluas Jepang.

Ini merupakan langkah tegas dari pemimpin yang terkenal dengan komitmennya terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Memperpanjang moratorium adalah kemenangan bagi masyarakat Indonesia, kelompok bisnis, dan planet ini.

Moratorium akan memberikan manfaat secara langsung kepada lebih dari 80 juta masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidupnya kepada hutan. Banyak dari mereka sangat miskin dan telah berjuang untuk memperoleh pengakuan terhadap hak tanah mereka. Memperpanjang moratorium memberikan kesempatan untuk menyelesaikan isu-isu krusial tersebut.

Kekhawatiran bahwa moratorium akan berdampak buruk terhadap ekonomi sangatlah tidak masuk akal. Usaha kecil menengah dan industri hutan, bersama produksi kertas dan bubur kertas, tergantung kepada hutan, dan berkontribusi sebesar US$ 21 miliar kepada ekonomi—sekitar 3.5 GDP Indonesia. Lebih dari 4 juta orang dipekerjakan dalam industri ini.

Terlebih lagi, Indonesia sedang berkembang menjadi raksasa pertanian di dunia. Indonesia sudah menjadi produsen terbesar minyak kelapa sawit di dunia, yang digunakan di berbagai produk konsumen, dan salah satu produsen beras terbesar di dunia. Mengurangi kehilangan hutan membuat pertanian menjadi lebih berkelanjutan dengan melindungi sumber air penting dan mengurangi erosi.

Indonesia berencana untuk meningkatkan secara signifikan produksi dari 15 tanaman komoditas di tahun-tahun mendatang, termasuk melipat-gandakan produksi minyak kelapa sawit pada tahun 2020. Jika tidak diperhatikan dengan baik, meningkatkan produksi kelapa sawit dapat meningkatkan tekanan terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. Di bawah model lama, wilayah hutan yang sangat berharga akan dibuka untuk membuat perkebunan baru. Dengan adanya moratorium, produsen akan didorong untuk meningkatkan produksi di lahan yang sudah dibuka.

Produsen kelapa sawit memiliki potensi untuk meningkatkan hasil produksi dari 3.5 ton menjadi 8 ton per hektar melalui pengelolaan yang lebih baik dan bibit tanaman kelapa sawit baru. Penelitian WRI menunjukkan kesempatan yang besar untuk menggunakan lahan yang sudah terdegradasi untuk pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan. Untuk provinsi Kalimantan sendiri, terdapat sekitar 14 juta hektar lahan yang terdegradasi yang tersedia untuk tujuan tersebut.

Terlebih lagi, moratorium akan membantu perusahaan-perusahaan Indonesia untuk mendapatkan akses kepada pasar global, yang semakin berkomitmen untuk membeli komoditas yang “bebas deforestasi”. Inilah sebabnya Asosiasi Petani Kelapa Sawit (SPKS), asosiasi petani kecil dan menengah, secara publik mendukung moratorium.

Kelompok lainnya sedang bekerja untuk meningkatkan usaha kelapa sawit yang berkelanjutan – dan mencegah deforestasi merupakan langkah penting dalam usaha tersebut. Sebagai contohnya, Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) bersama perusahaan-perusahaan besar berusaha untuk memasuki pasar global dengan menawarkan sertifikasi berkelanjutan untuk petani dan pemasok kelapa sawit.

Lima belas persen dari minyak kelapa sawit saat ini memiliki sertifikasi dari RSPO, dan komitmen baru-baru ini dari perusahaan-perusahaan besar seperti Godrej, Ruchi Soya, Wilmar, Kamani Oil Industries, dan WF Limited menunjukkan ketertarikan yang semakin besar terhadap pendekatan ini. Komitmen terbaru dari Asia Pulp and Paper untuk menghentikan pembukaan hutan alami menunjukkan pemikiran bersama yang baru di dalam industri.

Kepemimpinan Presiden Yudhoyono mengirimkan pesan yang penting melampaui batas-batas negara Indonesia bahwa melindungi hutan merupakan strategi yang cerdas baik secara ekologi maupun ekonomi. Negara-negara lainnya sedang melakukan kalkulasi yang sama: Brazil mengumumkan moratorium pembukaan lahan untuk budidaya kedelai pada tahun 2006.

Sejak saat itu, produksi kedelai meningkat, bahkan saat tingkat deforestasi Brazil menurun sebesar 80 persen. Ini merupakan tingkat deforestasi terendah dalam seperempat abad terakhir. Di Afrika, negara seperti Gabon dan Niger mengambil pendekatan inovatif untuk memperbaiki pengelolaan hutan dan mengembalikan hutan yang hilang.

Tentu saja perpanjangan moratorium bukanlah akhir dari perjuangan. Peraturan yang baru ini harus diterapkan dengan lebih efektif dari sebelumnya. Pemerintah harus memperkuat tingkat keberhasilan dengan memberikan panduan teknis dan pendekatan yang lebih baik di tingkat lokal; meningkatkan pengawasan dan penegakkan hukum; dan kerjasama yang lebih baik di antara para menteri. Dengan berlakunya moratorium yang baru, reformasi-reformasi ini dapat dilanjutkan.

Tidak setiap hari pemimpin-pemimpin di dunia membuat keputusan yang benar ketika menghadapi pilihan-pilihan yang sulit. Kebijakan Presiden Yudhoyono akan memperkuat reputasinya sebagai pendukung pembangunan yang berkelanjutan – dan terlebih lagi, akan memberikan keuntungan bagi masyarakat di seluruh Indonesia dan dunia.