Indonesia adalah negara penyumbang GRK (gas rumah kaca) terbesar kedelapan di dunia, berkontribusi sebesar 4 persen pada emisi GRK dunia, yang sebagian besar berasal dari sektor hutan dan penggunaan lahan dan sektor energi. Negara kepulauan ini merupakan salah satu dari tiga negara dengan target paling ambisius selama masa transisi dari Komitmen Kontribusi Nasional yang Diniatkan (INDC) menuju Komitmen Kontribusi Nasional (NDC). Dalam NDC yang telah diajukan oleh Indonesia, target ini dituangkan dalam bentuk tingkat emisi absolut yang lebih rendah, dari 2.881 MtCO2e (megaton setara CO2) pada INDC menjadi 2.869 MtCO2e pada NDC. Meski demikian, target keseluruhan pengurangan emisi Indonesia tidak berubah, yakni di angka 29 persen dengan kemampuan sendiri (unconditional) dan 41 persen dengan bantuan internasional (conditional).

Walaupun target tersebut sudah direvisi, temuan dari studi terbaru menunjukkan bahwa pemerintah belum cukup serius dalam mengembangkan rencana aksi iklim. Hal ini tentu akan mengancam potensi Indonesia untuk memberikan sumbangsih signifikan dalam upaya global membatasi kenaikan suhu jauh di bawah 2 derajat, atau tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industrial, jika kita mengacu pada laporan IPCC terbaru.

Dalam lima tahun terakhir, pemerintah berfokus pada pencapaian target sosial dan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur, penguatan ekonomi lokal, perbaikan penegakan hukum, dan pendidikan. Hal-hal tersebut tentu sangat penting bagi kehidupan masyarakat, tetapi tidak adanya prioritas lingkungan dalam sembilan program prioritas Presiden Jokowi – Nawacita – patut disayangkan.

Pemerintah melaporkan telah mencapai pengurangan emisi sebesar 10,7 persen pada tahun 2016 dan 24,4 persen pada tahun 2017 dari target 29 persen. Sayangnya, tidak ada proses verifikasi terkait laporan tersebut sehingga perlu kajian lebih lanjut untuk mendapatkan informasi yang lebih transparan.

Seberapa ambisius target iklim Indonesia?

Untuk memenuhi target 1,5 derajat, Indonesia harus mengurangi emisi karbonnya mulai tahun 2020 dan mencapai emisi bersih nol paling lambat pada pertengahan abad ini. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres telah meminta para pemimpin dunia untuk memberikan rencana yang konkret dan realistis dalam meningkatkan target iklim negara mereka sebelum tahun 2020 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 45 persen dalam sepuluh tahun ke depan dan mencapai emisi bersih nol paling lambat pada tahun 2050.

Baru pada tahun 2017, pemerintah meluncurkan inisiatif pembangunan rendah karbon (Low Carbon Development Indonesia/LCDI) dan menerbitkan laporan LCDI pertama. Laporan ini memaparkan beberapa pilihan kebijakan yang tepat bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara optimal sekaligus mengurangi emisi GRK hingga 43 persen pada tahun 2030. Laporan ini juga menyoroti peluang untuk mencapai target pengurangan emisi yang lebih tinggi jika kita berfokus pada sektor lahan dan energi dalam penyusunan kebijakan. Namun, skenario paling ambisius dalam laporan ini pun, yakni LCDI-Plus, masih belum menyentuh target 1,5 derajat tersebut. Analisis atas skenario ini menunjukkan bahwa Indonesia baru dapat menghentikan kenaikan emisinya antara tahun 2025 dan 2030. Di sisi lain, target emisi nol tidak akan dapat tercapai sebelum tahun 2050.

Analisis independen dari Climate Actions Tracker (CAT) menilai bahwa target iklim Indonesia sangat tidak memadai. Analisis CAT ini menyebutkan bahwa Indonesia masih dapat mencapai target tersebut jika berbagai permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan baik. Salah satunya adalah menghentikan peningkatan emisi pada tahun 2020 dan menurunkannya secara drastis sampai tahun 2050.

Sektor perhutanan dan penggunaan lahan belum tercakup dalam perbandingan emisi ini. Sementara, emisi sektor-sektor tersebut berpotensi meningkat tajam jika kebakaran lahan kembali terjadi selama musim El Ninõ yang kering.

Pilihan kebijakan untuk memperkuat target iklim nasional

Kebijakan-kebijakan lintas sektor yang melibatkan pemerintah dan swasta harus mempertimbangkan keadaan darurat iklim dan dirancang untuk memperkuat aksi iklim sekaligus target-target ambisius yang ingin dicapai. Untuk itu, kebijakan-kebijakan di bawah ini harus diikutsertakan.

1. Penegakan kebijakan sektor perhutanan dan penggunaan lahan dan energi sebagaimana tercantum dalam laporan LCDI Indonesia. Dalam skenario LCDI yang paling ambisius, pengurangan emisi yang dapat dicapai sebelum 2030 adalah 43 persen. Dengan kata lain, total emisi akan dibatasi pada angka 1,05 GtCO2e. Sementara untuk mencapai target 1,5 derajat, tingkat emisi Indonesia harus mencapai separuh angka tersebut sebelum tahun 2030. Perkembangan kebijakan lahan harus mencakup larangan permanen konversi hutan primer dan lahan gambut, memperbaiki kebijakan moratorium agar mencakup hutan sekunder serta menegakkan kebijakan pengelolaan ekosistem lahan gambut dan mitigasi kebakaran yang lebih baik. Di sektor energi, upaya peralihan dari energi bahan bakar fosil yang dibarengi dengan peningkatan efisiensi energi, penggunaan kendaraan listrik dan pengembangan infrastruktur ramah lingkungan akan menekan emisi yang dihasilkan secara signifikan. Komitmen sektor swasta dan pemerintah untuk sepenuhnya menggunakan energi terbarukan harus mendapatkan dukungan politik yang kuat. Lebih jauh lagi, dukungan politik juga diperlukan bagi komitmen untuk mencapai energi nol emisi, yang tentunya akan semakin menguntungkan bagi iklim kita.

2. Komitmen provinsi untuk melestarikan hutan alami utuh dalam ukuran luas. Meskipun tidak mengikat, komitmen terbuka seperti Deklarasi Manokwari yang disampaikan di hadapan publik nasional dan global menunjukkan semangat yanag kuat dan ambisius dari masyarakat daerah untuk melawan krisis iklim. Sejauh ini, semua pemangku kepentingan yang ingin menjaga kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat telah memberikan komitmen serupa. Menurut analisis kami, jika kita dapat melestarikan paling tidak 70 persen hutan Papua di Indonesia, kita dapat menghindari pelepasan emisi setidaknya 14 GtCO2e atau setara dengan sekitar US$70 miliar berdasarkan harga pasar karbon saat ini. Dengan dana sebesar ini, provinsi-provinsi di Papua dapat merencanakan ekonomi rendah karbon yang sesuai dengan LCDI nasional.

3. Komitmen kuat dari pemerintah dan pelaku usaha tingkat provinsi dan kota dalam memitigasi dampak krisis iklim. Perencanaan pembangunan jangka menengah dan pendek di tingkat provinsi atau kota perlu mempertimbangkan target mitigasi dan adaptasi iklim. Investasi iklim lain juga perlu memanfaatkan sumber-sumber potensial di sektor publik dan bisnis, termasuk mekanisme urun dana (crowd-funding). Beberapa wilayah penting di Indonesia telah berkomitmen menerapkan pendekatan yurisdiksi untuk beralih dari komoditas tidak berkelanjutan, seperti minyak kelapa sawit, untuk mencapai target ekonomi, lingkungan dan sosial secara berbarengan. Inisatif-inisiatif seperti ini harus digunakan sebagai platform untuk mencapai emisi bersih nol sebelum pertengahan abad ini.

4. Pengadaan peraturan daerah untuk memitigasi darurat iklim dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Krisis iklim di tingkat daerah bisa berdampak langsung terhadap penurunan kesehatan masyarakat setempat. Sebut saja, polusi udara yang semakin parah di kota Jakarta selama beberapa bulan terakhir yang berujung pada gugatan perdata terhadap pemerintah. Gubernur Jakarta baru-baru ini menetapkan peraturan baru untuk mengurangi polusi udara dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Upaya ini mencakup revitalisasi transportasi umum, penguatan peraturan dan pengawasan emisi dan polusi, penanaman pohon dan penerapan teknologi berbasis energi terbarukan. Jika inisiatif ini berhasil, tentu emisi karbon di Jakarta dapat dikurangi secara signifikan, mengingat lebih dari 70 persen emisi di Jakarta dihasilkan dari sektor transportasi dan manufaktur.

Perubahan iklim bukan hanya wacana untuk dibahas secara global atau nasional saja, karena dampaknya dirasakan langsung oleh kita. Untuk itu, upaya mengatasi krisis iklim dan membatasi kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat adalah tanggung jawab kita bersama. Tugas yang kita hadapi tidak mudah. Semua upaya ini harus dilakukan secara konsisten setiap harinya. Namun, percayalah bahwa tantangan ini dapat dan harus kita atasi demi menjaga Bumi sebagai satu-satunya rumah, tempat kita berlindung.