Sebagai importir sawit terbesar kedua di dunia dan salah satu tujuan ekspor sawit terbesar bagi Indonesia, transformasi bisnis berkelanjutan yang sedang bergulir di Tiongkok dapat menjadi peluang bagi negara kita mengingat proses transisi menuju sawit yang berkelanjutan di Tanah Air sudah cukup lama dimulai. Meski begitu, kesiapan pelaku industri sebagai pemangku kepentingan utama sawit Indonesia dapat menjadi kunci dalam mempercepat transisi tersebut. Lalu, bagaimana kesiapan mereka untuk menangkap peluang yang ada?

Kesiapan Pelaku Industri & Peluang Indonesia Menjadi Pemasok Utama

Sebanyak 80 persen dari penggunaan minyak sawit di Tiongkok adalah untuk konsumsi sedangkan 20 persen lainnya untuk proses industri. Selama larangan ekspor minyak sawit sementara yang diberlakukan Indonesia pada pertengahan 2022 lalu, produsen makanan Tiongkok pun berebut karena harga naik di tengah kekurangan pasokan.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia memegang peranan strategis dalam perdagangan minyak sawit Tiongkok. Sehingga, peluang Indonesia untuk menjadi pemasok minyak sawit utama Tiongkok akan semakin melebar. Apalagi dengan adanya upaya akselerasi sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang sedang berjalan seiring dengan berlangsungnya tranformasi bisnis berkelanjutan di Tiongkok.

Peluang tersebutditangkap oleh pelaku industri sawit di Indonesia. Tujuh dari sepuluh perusahaan penyuplai minyak sawit Indonesia ke Tiongkok sudah menerapkan kebijakan No Deforestation, No Peat and No Exploitation (NDPE) ke dalam proses produksinya.

Di tingkat internasional, sejumlah perusahaan sawit global yang beroperasi di Indonesia seperti GAR, Wilmar International, dan Cargill memperkuat komitmennya melalui penandatanganan kesepakatan Agricultural Commodity Companies Corporate Statement of Purpose pada COP26.

Dari sisi domestik, banyak perusahaan sawit yang memperlihatkan komitmen berkelanjutannya melalui sertifikasi. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), sebanyak 560 dari 718 perusahaan anggota GAPKI sudah bersertifikasi ISPO.

Upaya lainnya seperti Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART), anak perusahaan GAR, mendorong praktik berkelanjutan melalui proses kemamputelusuran dan transparansi di sepanjang rantai pasoknya. SMART berkolaborasi dengan pabrik kelapa sawit (PKS) pemasok pihak ketiga yang melakukan pembelian dari petani atau agen lain, untuk memastikan tercapainya Traceability to Plantation (TTP) dengan menelusuri sumber bahan baku. Hingga akhir 2021, SMART telah mencapai 95 persen TTP pada seluruh rantai pasoknya.

Perusahaan sawit lain, Asian Agri juga membuat sejumlah inisiatif seperti mendirikan  aliansi ‘SUSTAIN (Sustainable Assurance and Innovation Alliance).’ Inisiatif ini bekerja sama dengan sejumlah perusahaan seperti Nestle dan KAO mengembangkan platform blockchain bersama agar semua pihak dapat menelusuri, memantau kepatuhan kebijakan, dan menjual Tandan Buah Segar (TBS) secara efisien, hingga mengakses pembiayaan mikro.

Dari segi upaya mendorong sertifikasi RSPO, tiga perusahaan, Apical, Asian Agri, dan KAO mengagas inisiatif bersama melalui ‘SMILE (Smallholder Inclusion for Better Livelihood and Empowerment).’ Program ini memberikan pelatihan pertanian berkelanjutan untuk petani yang berperan dalam meningkatkan pendapatan pertain melalui peningkatan produktivitas dan akses untuk mengikuti sertifikasi RSPO.

Kesiapan pelaku industri sawit yang berkelanjutan dapat berkontribusi positif pada kesiapan pemerintah untuk menanggapi inisiatif perdagangan hijau Tiongkok. Beberapa upaya pemerintah Indonesia ialah dengan menggencarkan implementasi sertifikasi ISPO untuk seluruh kebun kelapa sawit di Indonesia, mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) 2019-2024 serta Program Strategis Nasional tentang Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

Di tingkat global, Indonesia berkomitmen menghentikan dan memulihkan hilangnya hutan dan degradasi lahan pada 2030. Ini diwujudkan dalam keikutsertaan di Glasgow Leaders’ Declaration on Forest and Land Use pada COP26, 2021 lalu.

Strategi Menangkap Peluang Baru Sawit Berkelanjutan

Peluang bisnis hijau yang menjadi tren global, termasuk Tiongkok selaras dengan tuntutan akan optimalisasi implementasi sawit berkelanjutan bagi Indonesia. Sejumlah upaya dapat dilakukan perusahaan untuk memaksimalkan peluang dari tren bisnis hijau antara lain:

1. Meningkatkan hasil dan produktivitas

Untuk meningkatkan produktivitas, pelibatan petani swadaya atau petani rakyat adalah salah satu langkah terpenting. Petani rakyat memiliki porsi cukup besar dalam pengelolaan areal perkebunan, yakni mencapai 41,24 persen (BPS, 2021). Oleh karena itu, peningkatan kapasitas mereka dapat secara efektif meningkatkan jumlah produksi.

2. Transformasi model bisnis berkelanjutan

Transformasi menuju model bisnis berkelanjutan menjadi keharusan. Mengadopsi teknologi untuk fasilitas penangkapan metana dan kogenerasi biogas yang dilakukan produsen justru berpeluang menghasilkan keuntungan serta mengurangi risiko dari kenaikan biaya emisi.

3. Meningkatkan efisiensi lahan dan aset

Perusahaan tidak perlu lagi memperluas lahan untuk pengembangan sawit, melainkan perlu meningkatkan efisiensi lahan yang ada. Tidak hanya itu, perusahaan perlu memperketat implementasi NDPE serta mengurangi emisi dalam pengelolaan lahan serta proses produksi. Agar tidak ada lahan yang terekspansi, perusahaan perlu meningkatkan efisiensi aset yang dimiliki serta menggunakan teknologi paling mutakhir.

4. Perkuat implementasi kebijakan

Indonesia sudah memiliki kebijakan yang mendukung sawit berkelanjutan, tetapi implementasinya perlu diperkuat, salah satunya dengan penguatan implementasi RAN-KSB. Perlu ada kesadaran bersama dari tingkat nasional hingga tingkat daerah dan tapak untuk melaksanakannya.

5. Penguatan legalitas

Tak kalah penting, Indonesia perlu terus melanjutkan penguatan ISPO. Adapun caranya adalah dengan memperketat sanksi bagi perusahaan yang belum menerapkan ISPO dan melanggar aturan pembukaan lahan baru.

Selain itu, agar keberterimaan ISPO semakin optimal, perlu ada harmonisasi dengan standar global untuk memperkuat komitmen NDPE. Praktik agrikultur regeneratif, transparansi data, traceability, hingga komitmen terhadap NDPE perlu dimasukkan ke dalam implementasi ISPO.

6. Mendorong kerangka akuntabilitas rantai pasok

Perusahaan dapat mengadopsi pedoman dan panduan praktik seperti modul Accountability Framework (AF) untuk menetapkan, menerapkan, memantau, dan mendorong akuntabilitas komitmen rantai pasok yang lebih berkelanjutan. Pedoman yang sudah diakui secara global ini juga dapat memberi asistensi teknis melalui penilaian mandiri untuk mengimplementasi komitmen berkelanjutan pelaku industri.

Ketika sejumlah upaya tersebut dijalankan, pelaku industri sawit akan mendapatkan peluang berupa peningkatan pendapatan dari pasar sawit berkelanjutan & produktivitas, pengurangan biaya produksi dari pemanfaatan teknologi & aset, serta pendapatan baru dari pasar kredit karbon dan investasi rendah karbon. Meski begitu, ada sejumlah tantangan yang dapat menjadi perhatian bersama, seperti produktivitas yang rendah di petani tingkat tapak hingga masih minimnya adopsi sertifikasi ISPO maupun RSPO.  

Bagaimana potensi besar dari “panggilan hijau” Tiongkok ini bisa dimanfaatkan akan bergantung pada upaya-upaya perusahaan dalam memanfaatkan peluang yang ada melalui inisiatif-inisitaifnya serta kemampuan dalam mengelola tantangan yang berpotensi menghambat optimalisasi praktik sawit berkelanjutan.