Lake Sentarum, Indonesia. Photo credit: Moray McLeish/WRI
Danau Sentarum, Indonesia. Sumber foto: Moray McLeish/WRI

Sebuah moratorium yang akan menghentikan pengeluaran izin baru konversi hutan selama dua tahun sedang ditunggu-tunggu. Kebijakan ini dapat memperbaiki tata kelola hutan dan penggunaan lahan di Indonesia.

Pada pertengahan 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diperkirakan akan menandatangani sebuah Instruksi Presiden (Inpres) yang menghentikan sementara pengeluaran izin-izin baru untuk konversi hutan alam dan lahan gambut. Rencana pembuatan moratorium ini diumumkan bulan Mei 2010 dan merupakan bagian dari kesepakatan kerjasama antara Indonesia dan Norwegia senilai 1 milyar dolar Amerika, untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (juga dikenal dengan sebutan REDD+).

Sebuah moratorium yang efektif dapat memberikan waktu bagi pemerintah Indonesia – tentu saja dengan dukungan dari sektor industri dan lembaga swadaya masyarakat – untuk memperbaiki perencanaan penggunaan lahan dan proses mengeluarkan izin baru baik di kawasan hutan maupun areal penggunaan lain (APL), menciptakan sistem informasi yang memadai, serta membangun lembaga-lembaga yang dapat mendukung target Indonesia yang pro-growth dan pro-green. Target yang dinilai cukup ambisius ini termasuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen dan meningkatkan produksi kelapa sawit sebanyak dua kali lipat pada tahun 2020.

Apa yang dimaksud dengan “konversi”?

Izin yang akan dimasukkan ke dalam moratorium sangat bergantung pada penafsiran dan definisi “konversi”. Konversi telah diartikan dalam beberapa konteks sebagai perubahan fisik suatu tutupan lahan (misalnya dari daerah berhutan menjadi daerah tidak berhutan), untuk menandai adanya perubahan dalam penggunaan lahan (seperti dari hutan menjadi perkebunan), atau untuk mengubah status legal suatu kawasan (seperti dari Kawasan Hutan menjadi Areal Penggunaan Lain – APL). Menurut definisi internasional, penebangan kayu atau “logging” tidak dianggap deforestasi apabila tidak diikuti dengan perubahan penggunaan lahan jangka panjang.

Moratorium ini harus dipikirkan secara matang. Instruksi Presiden tersebut harus jelas dan konsisten dengan rencana pembangunan Indonesia. Berbagai instansi pemerintahan perlu mendukung dan bekerja sama supaya peraturan ini berjalan dengan efisien. Penundaan penandatangan selama beberapa bulan ini telah memberikan waktu bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kekhawatiran sektor industri dan merundingkan jalur tengah atas beberapa rancangan Inpres yang diserahkan oleh berbagai kementerian dan mengandung penafsiran berbeda tentang bagaimana moratorium ini akan dijalankan. Kebijakan yang dibuat akan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat dan kelestarian hutan.

Berikut adalah kajian dari beberapa rancangan Inpres yang dapat diakses publik. Analisa ini mengidentifikasikan elemen-elemen penting dari Inpres yang akan ditetapkan dan merekomendasikan langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam moratorium dua tahun ini, supaya menghasilkan manfaat yang berkelanjutan bagi hutan Indonesia, masyarakat setempat dan dunia usaha yang bergantung pada sektor ini.

Apa yang bisa dicapai oleh moratorium yang efektif?

Moratorium yang efektif dapat memperbaiki proses pemberian izin dan perencanaan penggunaan lahan yang mendukung target pembangunan ekonomi nasional dan menghormati hak-hak masyarakat setempat. Diharapkan efek moratorium ini bisa dirasakan lebih dari dua tahun.

Keadaan saat ini tentang lahan dan pengalokasian izin

Proses yang dilakukan selama ini dalam pengalokasian konsesi lahan dapat dinilai kurang efektif dan adil. Pemberian izin dilihat tidak konsisten dengan target pembangunan Indonesia. Sebagai contoh:

Persepsi salah yang sering disebut dalam media adalah moratorium ini dibuat untuk menghentikan semua penebangan hutan di Indonesia dan menghambat ekspansi industri-industri seperti industri kelapa sawit, HTI, dan tambang. Namun, menurut isi dari kesepakatan Indonesia-Norwegia, moratorium ini adalah suspensi atas pemberian izin baru konversi hutan alam dan lahan gambut.

Pencabutan izin-izin yang sudah dikeluarkan – banyak di antaranya yang mungkin ilegal – sepertinya berada di luar rancangan moratorium ini. Selain itu, karena moratorium hanya diberlakukan pada izin baru konversi hutan alam dan lahan gambut, kemungkinan besar peraturan ini tidak mencakup izin penebangan pohon selektif (selective logging permits) atau izin perkebunan kelapa sawit di daerah APL.

Jangka waktu dua tahun, di mana tidak ada izin baru konversi hutan, memberi kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk mulai menjalankan kebijakan REDD+, seperti memperbaiki perencanaan penggunaan lahan, mengkaji dan mencabut izin ilegal, mendorong ekspansi perkebunan kelapa sawit yang berkesinambungan di “lahan terdegredasi”, dan mengembangkan insentif untuk melakukan “landswap” untuk pembangunan antara daerah berhutan dengan lahan yang tingkat karbonnya rendah.

Apa elemen-elemen utama dalam rancangan Instruksi Presiden?

Setidaknya tiga rancangan Inpres dapat diakses publik sejak bulan Februari 2011. Draft-draft tersebut telah diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh beberapa lembaga pemerintah.

Semua draft mengandung hal-hal berikut:

  • Penghentian pengeluaran izin baru konversi hutan selama dua tahun.
  • Instruksi kepada lembaga-lembaga pemerintah terkait untuk menghentikan pemberian izin baru yang berhubungan dengan konversi hutan alam dan lahan gambut.
  • Pengecualian atas peraturan ini terhadap izin legal dan kegiatan yang dinilai menyangkut kepentingan nasional (seperti di bidang energi).
  • Sebuah peta yang menjadi panduan pelaksanaan moratorium yang dapat di-update secara teratur. Perlu dicatat bahwa peta ini belum ada sehingga tidak dapat dianalisa.

Namun, terdapat beberapa perbedaan mendasar pada rancangan-rancangan Instruksi Presiden tersebut. Dampak Instruksi Presiden yang akan ditetapkan akan bergantung pada beberapa hal penting berikut, yaitu:

  • Tujuan – Apakah peraturan ini dapat menjelaskan tujuan penghentian sementara pemberian izin baru untuk memperbaiki proses perencanaan penggunaan lahan dan pemberian izin baru di masa yang akan datang?

  • Definisi – Apakah istilah dan terminologi yang digunakan cukup jelas dan konsisten dengan pencapaian tujuan yang ada? Beberapa istilah yang belum didefinisikan dengan baik termasuk: konversi, hutan alam, hutan primer, hutan sekunder, dan lahan gambut.

  • Data – Apakah data dan peta yang digunakan atau yang akan dibuat untuk menentukan daerah yang termasuk dalam moratorium ini akurat dan sesuai? Data yang sesuai akan tergantung pada definisi yang ditentukan. Namun setidaknya data yang dimasukkan mencakup penutupan lahan, fungsi kawasan hutan, penggunaan lahan, status legalnya, dan persoalan-persoalan mengenai kepemilikan lahan.

  • Izin – Kejelasan tentang izin mana yang termasuk dan tidak termasuk dalam moratorium ini. Hal tersebut menentukan peluang-peluang bisnis dan pembangunan yang dimiliki oleh perusahaan, komunitas, dan pemerintah daerah (masing-masing dengan keuntungan dan kerugian ekonomi, lingkungan, dan sosial yang berbeda).

  • Lembaga dan Institusi – Lembaga/Institusi/Kementerian mana yang akan diberikan wewenang untuk mengimplementasikan moratorium ini? Institusi/Kementerian mana yang akan membuat peta-peta yang berhubungan dengan moratorium ini? Apabila terdapat pengecualian terhadap izin yang sudah dikeluarkan dan yang dinilai “legal”, perlu ada definisi yang baik atau proses yang jelas untuk mengkaji ulang legalitas izin tersebut.

  • Proses – Proses apa saja yang akan digarap untuk mengkaji ulang legalitas izin, kerjasama dan koordinasi dengan berbagai lembaga pemerintah, meningkatkan transparansi dan partisipasi, membuat peta dan data spasial publik, dan menyelesaikan konflik lahan?

Apakah arti dari perbedaan beberapa rancangan Instruksi Presiden?

Beberapa laporan media menggambarkan kebingungan mengenai tujuan, isi, dan implikasi beberapa rancangan Inpres. Sebagian besar debat publik mengenai pilihan-pilihan yang ada terpusat pada berapa banyak dan tipe hutan yang akan terkena dampak dalam moratorium ini. Pertanyaan-pertanyaan yang beredar termasuk: Apakah moratorium ini akan berlaku pada hutan sekunder atau hutan terdegredasi, dan lahan gambut dangkal (gambut dengan kedalaman kurang dari tiga meter)? Apakah daerah berhutan di luar kawasan hutan akan dimasukkan dalam moratorium ini?1

Hal-hal ini mempunyai pengaruh yang signifikan bagi hutan, manusia, dan perubahan iklim. Menurut statistik yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan:

  • 58 persen hutan (58 juta hektar) di Indonesia adalah hutan sekunder.2
  • 80 persen lahan gambut (17 juta hektar) di Sumatera, Kalimantan, dan Papua adalah lahan gambut dangkal.3
  • 8 persen daerah dengan tutupan hutan di Indonesia (8 juta hektar) berada diluar Kawasan Hutan. 4

Karena tidak ada satupun rancangan Inpres yang menjelaskan definisi tersebut ataupun petunjuk mengenai peta atau data yang akan digunakan oleh pemerintah untuk menjalankan moratorium ini, maka tidak jelas berapa banyak dan tipe hutan apa yang akan terkena dampak. Pemerintah Indonesia memperkirakan moratorium ini dapat diberlakukan pada 64 juta hektar area di Indonesia, meskipun kemungkinan prediksi ini termasuk daerah berhutan yang sudah dilindungi.

Sebuah faktor penting yang tidak mendapat banyak sorotoan media adalah izin mana yang akan dimasukkan dalam moratorium ini. Karena moratorium ini hanya merupakan penghentian sementara konversi hutan, daerah yang akan terkena dampak bukan semua daerah hutan alam dan lahan gambut, melainkan daerah hutan alam dan lahan gambut yang tidak dilindungi oleh peraturan tertentu dan belum ada izin atas daerah tersebut.

Semua rancangan Inpres membuat pengecualian atas izin yang masih berlaku. Hal ini konsisten dengan isi kesepakatan Indonesia-Norwegia. Beberapa draft menyebutkan izin-izin tertentu seperti izin pemanfaatan kayu, izin perkebunan, dan izin pertambangan, sementara terdapat draft lainnya yang menyebutkan izin baru yang hanya berhubungan dengan konversi hutan saja. Tidak satupun draft yang membahas persoalan hutan masyarakat atau hak-hak masyarakat lainnya.

Tidak ada draft yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan izin “legal” atau mengacu pada sebuah proses yang dapat digunakan untuk mengkaji tingkat legalitas suatu izin. Prosedur bagaimana caranya untuk mencabut izin yang dinilai melanggar hukum, sebagaimana dilakukan baru-baru ini oleh Menteri Kehutanan, tidak dimasukkan pula dalam draft-draft yang ada. Ketidakjelasan tentang izin – ditambah dengan kurangnya data publik yang akurat tentang status hutan dan lokasi izin yang telah diterbitkan oleh lembaga-lembaga pemerintah di berbagai tingkat (pusat, propinsi, dan kabupaten) – membuat analisa kuantitatif pada rancangan Inpres sangat sulit dilakukan. Namun, daerah-daerah yang masuk dalam moratorium ini benar-benar berkurang ketika data publik mengenai izin yang masih berlaku dimasukkan.

Apa kegiatan utama yang perlu dilakukan ketika moratorium dua tahun ini keluar?

Kesuksesan moratorium ini tidak hanya bergantung pada isi dari Instruksi Presiden yang ditandatangani, tapi juga pada apa yang akan dicapai oleh pemerintah Indonesia – dengan partisipasi dari industri dan lembaga swadaya masyarakat – dalam dua tahun ke depan. Supaya Indonesia dapat mencapai target ambisiusnya untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan beremisi karbon rendah, pemerintah dapat memanfaatkan moratorium dua tahun ini untuk mulai melaksanakan kegiatan-kegiatan berikut ini:

  • Memproduksi data spasial dan peta-peta yang lengkap, akurat, dan yang diperbarui secara teratur mengenai tutupan lahan dan tipe hutan, penggunaan lahan, status lahan, dan hak-hak atas tanah – termasuk informasi tentang lokasi izin yang telah diberikan – yang dapat dengan mudah diakses publik melalui internet.

  • Merevisi perencanaan penggunaan lahan (zoning) sehingga hutan alam dan lahan gambut yang sesuai diklasifikasikan untuk konservasi atau dengan tata pengelolaan yang berkesinambungan. Lahan terdegredasi juga harus diidentifikasikan sehingga dapat digunakan untuk kegiatan perkebunan atau penggunaan lainnya melalui proses yang menggunakan praktek-praktek terbaik dalam kegiatan perencanaan tata ruang secara partisipatif.

  • Mengembangkan proses yang transparan dan partisipatif untuk mengkaji ulang, mencabut, menerbitkan kembali izin-izin yang ilegal atau yang dilihat tidak sesuai untuk pembangunan, dan menggunakan praktek-praktek terbaik untuk berhubungan dengan instansi-instansi yang berkepentingan termasuk terjaminnya pemberian informasi kepada masyarakat setempat secara bebas, sebelum terjadinya “konversi” laha (prinsip FPIC).

Instruksi Presiden yang jelas dan benar-benar dipikirkan secara matang akan menghasilkan moratorium efektif yang menghentikan sementara pemberian izin baru konversi hutan dapat membantu Indonesia “menarik nafas sejenak” untuk membuat perubahan kebijakan fundamental dan memastikan tidak terjadinya skenario “business as usualbisnis seperti biasa” pada akhir dua tahun tersebut. Apabila dilakukan secara efektif, moratorium ini akan membuat keuntungan jangka panjang bagi hutan dan industri di Indonesia.

[Top]


  1. Di Indonesia, "Kawasan Hutan" adalah sebutan hukum mengacu pada tanah di bawah yurisdiksi Departemen Kehutanan (terlepas dari apakah tanah mengandung pohon atau hutan atau tidak). Tanah yang dikategorikan Non-Hutan dalam beberapa kasus termasuk tutupan hutan dan gambut. ↩︎

  2. Sumber: Departemen Kehutanan menggunakan Landsat 7 ETM + citra 2005/2006 (217 gambar). Ditafsirkan pada tahun 2007 dan diterbitkan pada tahun 2008. ↩︎

  3. Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Indonesia. 2009. Mengurangi emisi karbon dari lahan gambut di Indonesia. Tabel 1: "Alokasi Penggunaan Lahan (konservasi, lindung, dan pengembangan) dan tutupan lahan di lahan gambut Indonesia pada pulau utama dengan gambut pada tahun 2006." Data yang diberikan adalah untuk Sumatera, Kalimantan, dan Papua saja. Ketiga daerah ini menampung mayoritas gambut di Indonesia. ↩︎

  4. Sumber: Departemen Kehutanan menggunakan Landsat 7 ETM + citra 2005/2006 (217 gambar). Ditafsirkan pada tahun 2007 dan diterbitkan pada tahun 2008. ↩︎