Pantau Jejak Penebangan Hutan Ilegal Edisi Keenam: Lima Wilayah Teratas untuk Dipantau
Edisi Keenam dari seri Pantau Jejak ini menyajikan Lima Wilayah Teratas untuk Dipantau, yang terindikasi mengalami penebangan hutan ilegal periode 1 April–30 Juni 2019.
#1 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal seluas 1.193,94 Ha, Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan
Wilayah terindikasi pertama berada di Desa Cantung Kiri Hulu, Kecamatan Hampang. Indikasi penebangan seluas 1.193,94 ha berada dalam kawasan hutan produksi yang berdekatan dengan batas wilayah konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI), Hutan Alam (IUPHHK-HA), dan konsesi perkebunan kelapa sawit. Wilayah ini berbatasan langsung dengan area hutan lindung dan bukan wilayah dengan izin konsesi. Tampak area lahan yang baru dibuka merupakan kelanjutan dari pembukaan lahan yang telah ada sebelumnya. Kemungkinan pembukaan dilakukan untuk perkebunan karena pola pembukaan lahan berupa blok-blok yang teratur.
Pada Juli 2018, laporan media menyebutkan tim Polisi Kehutanan Kesatuan Pengelolaan Hutan Cantung menemukan pembukaan lahan di kawasan hutan produksi yang akan dipergunakan untuk bercocok tanam di Desa Cantung Kiri Hulu. Sebelumnya, pada 2016, Dinas Kehutanan Kabupaten Kotabaru menemukan 20 m3 kayu ulin ilegal yang diduga hasil penebangan liar di Kecamatan Hampang, Kabupaten Kotabaru.
#2 Indikasi Penebangan Hutan Hutan Ilegal seluas 285,93 ha, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau
Wilayah terindikasi kedua berada di Desa Binjai, Bunguran Barat. Lokasi pembukaan hutan seluas 285,93 ha berada di kawasan hutan produksi dengan tutupan lahan berupa hutan rawa sekunder. Berdasarkan pengamatan citra satelit resolusi tinggi yang dilakukan beberapa kali sejak April hingga Juni, kegiatan pembukaan lahan dilakukan bertahap. Pengambilan kayu besar-besaran terjadi pada awal pengamatan, sementara kebakaran lahan terjadi pada akhir pengamatan.
Pada pertengahan Mei 2019, media melaporkan kebakaran lahan gambut di Desa Binjai, tetapi tidak dikaitkan dengan penebangan hutan ilegal. Sebagaimana dikutip media massa, aktivitas penebangan hutan illegal telah terjadi di Kabupaten Natuna, salah satunya di Desa Sedanau Timur, yang berdekatan dengan Desa Binjai.
#3 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal seluas 184,59 Ha, Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan
Penebangan hutan ilegal seluas 184,59 ha terindikasi terjadi di Kecamatan Makarti Jaya. Wilayah terindikasi ini berbatasan langsung dengan wilayah Areal Penggunaan Lain (APL). Dari pengamatan citra satelit resolusi tinggi terlihat bahwa wilayah APL di bagian selatan merupakan kebun kelapa sawit dengan tanaman berumur muda. Penyebab kehilangan hutan di wilayah terindikasi belum dapat diidentifikasi karena penanaman belum terjadi di area pembukaan tersebut.
Ini adalah kali keempat wilayah tersebut muncul dalam laporan Pantau Jejak, sebelumnya pada edisi kedua, ketiga, dan kelima. Artinya, indikasi penebangan hutan ilegal kerap muncul di kawasan hutan lindung Kabupaten Banyuasin. Jika tidak segera ditangani, kawasan hutan lindung dengan tutupan hutan mangrove di Kabupaten Banyuasin dalam kondisi terancam.
#4 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal seluas 118,08 Ha, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatra Barat
Kehilangan tutupan hutan di Kabupaten Pasaman Barat kembali menjadi wilayah terindikasi. Adapun area kehilangan hutan yang berbeda di Kabupaten yang sama telah dibahas dalam Pantau Jejak edisi ketiga dan kelima. Kehilangan hutan ini terjadi di kawasan hutan produksi Nagari Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas. Pembukaan hutan terjadi sporadis, tidak teratur, dengan luasan area pembukaan relatif kecil. Penyebab penebangan hutan belum dapat diidentifikasi karena dalam kurun waktu pengamatan belum terlihat kegiatan penanaman di area pembukaan lahan.
Beberapa media memberitakan maraknya penebangan hutan ilegal di Kabupaten Pasaman Barat. Pada Agustus 2019, Tim Pengaman Hutan Terpadu (TPHT) menemukan 5 m3 kayu ilegal tak bertuan di kawasan hutan Produksi, Nagari Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat. Kayu ini ditemukan dalam patroli yang dilakukan TPHT pada 13-14 Agustus 2019.
#5 Indikasi Penebangan Hutan Ilegal Seluas 91,08 Ha Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan
Indikasi penebangan hutan ilegal seluas 91,08 ha terjadi di Desa Sungsang IV, Kecamatan Banyuasin II. Pembukaan lahan terjadi di kawasan hutan mangrove yang dilindungi. Berdasarkan pengamatan citra satelit resolusi tinggi, pembukaan lahan yang terjadi membentuk pola blok-blok teratur yang mengindikasikan pembukaan lahan untuk perkebunan. Walaupun penanaman lahan belum dilakukan, pembukaan lahan diduga untuk perluasan kebun sawit kawasan APL di sekitar wilayah pengamatan.
Penebangan hutan ilegal lainnya di kawasan hutan lindung mangrove Kabupaten Banyuasin juga muncul sebagai wilayah terindikasi #3 pada pantau jejak edisi ini. Meskipun wilayah ini muncul beberapa kali dalam pantau jejak, Kabupaten Banyuasin juga terpilih sebagai salah satu lokasi Gerakan Penanaman Serentak Mangrove, yang menekankan pentingnya ekosistem mangrove di Kabupaten tersebut.
Langkah Selanjutnya
Daftar Kelima Wilayah Teratas tersebut merupakan indikasi yang dihasilkan dari analisis atas sejumlah data, seperti GLAD Alert, Peta Status Kawasan Hutan, dan Peta Tutupan/ Penggunaan Lahan. Hasil analisis ini dapat menjadi petunjuk dalam menentukan wilayah hutan prioritas untuk dipantau dari ancaman penebangan ilegal. Berikut langkah-langkah yang harus segera ditempuh.
1. Verifikasi Lapangan dan Cegah Perluasan Kegiatan Penebangan Hutan Ilegal.
Kelima Wilayah Teratas menunjukkan indikasi bahwa penebangan dilakukan berulang dan merupakan kelanjutan/ perluasan aktivitas sebelumnya. Wilayah terindikasi ketiga (#3) telah menjadi area indikasi penebangan hutan ilegal dalam Pantau Jejak edisi kedua, ketiga dan kelima. Kabupaten Pasaman Barat di Riau juga masuk sebagai wilayah teratas untuk dipantau dalam laporan Pantau Jejak edisi ketiga dan kelima. Temuan ini menunjukkan indikasi penebangan hutan ilegal berkepanjangan berpotensi menyebabkan kehilangan area tutupan hutan yang lebih luas. Selain itu, Kelima Wilayah Teratas juga menunjukkan urgensi mitigasi kerusakan lingkungan. Apalagi beberapa wilayah terindikasi berada di kawasan hutan lindung mangrove dan hutan rawa, dengan sebagian wilayah muncul berulang.
Oleh karena itu, kolaborasi antara institusi yang berwenang dalam perlindungan kawasan hutan di Kelima Wilayah Terindikasi, perlu segera dilakukan terkait verifikasi lapangan dan tindakan pencegahan terhadap perluasan penebangan hutan ilegal. Institusi yang dimaksud adalah Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK, dinas setempat yang membidangi kehutanan, unit-unit kesatuan pengelolaan hutan terkait, serta Kepolisian. Urun daya masyarakat setempat dengan memberikan informasi dari lapangan juga dapat memperkuat proses verifikasi.
2. Verifikasi Lapangan dengan Upaya Penanganan yang Mempertimbangkan Aspek Sosial-Ekonomi Masyarakat.
Indikasi penebangan hutan di Kelima Wilayah Terindikasi tersebut mungkin terkait dengan kegiatan ekonomi masyarakat berskala kecil. Oleh karena itu, setelah verifikasi dilakukan, upaya penanganan perlu mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat. Mekanisme penanganan yang dilakukan sebaiknya memuat skema penyelesaian konflik, perhutanan sosial, reformasi agraria, dan penegakan hukum yang logis dan adil. Penelusuran pelaku juga perlu dilakukan sampai kepada dalang (pelaku intelektual) yang mengambil keuntungan dari kegiatan penebangan hutan ilegal tersebut.