Edisi Kesepuluh ini menyajikan 5 Wilayah Teratas untuk Dipantau yang terindikasi mengalami penebangan hutan ilegal selama periode 1 April – 30 Juni 2020. Pantau Jejak menggunakan metode dan data GLAD Alert dari Global Forest Watch yang dianalisis setiap periode tiga bulanan.

#1 Desa Upang Marga, Kecamatan Air Salek, Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan: 97,47 Ha

Wilayah terindikasi #1 berada di dalam kawasan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (UPTD KPHL) Wilayah III Palembang-Banyuasin dengan tutupan hutan mangrove sekunder. Pembukaan hutan terlihat dilakukan dalam blok-blok teratur dengan luasan yang cukup besar. Wilayah ini berbatasan langsung dengan Areal Penggunaan Lain (APL) di bagian selatan dengan tutupan lahan kebun kelapa sawit. Wilayah ini muncul beberapa kali dalam edisi pantau jejak sebelumnya, yaitu wilayah #3 edisi 6, wilayah #3 edisi 5, dan wilayah #5 edisi 3. Pengamatan citra satelit menunjukkan wilayah yang dibuka pada edisi ini maupun edisi-edisi sebelumnya belum ditanami hingga akhir periode pengamatan.

Ini adalah kali kelima Kabupaten Banyuasin muncul dalam laporan Pantau Jejak. Tahun 2018, penebangan hutan ilegal di Sumatra Selatan diberitakan sudah terjadi sejak tahun 1990-an dan Kabupaten Musi Banyuasin merupakan wilayah utama – dan diberitakan pula kerap terjadi di kawasan hutan lindung. Kasus penebangan hutan ilegal di Sumatra Selatan diberitakan mengalami peningkatan pada tahun 2020.

#2 Desa Loka, Kecamatan Tolala, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara: 58,41 Ha

Pembukaan hutan ilegal terindikasi di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit XVII Patampanua Utara dengan tutupan hutan lahan kering sekunder. Pengamatan citra satelit menunjukkan pembukaan hutan ini terjadi di sisi jalan logging dan telah berlangsung sejak bulan Maret 2020. Banyak jalan logging yang terlihat di sekitar wilayah ini dan pola pembukaan wilayah ini mengindikasikan pembukaan hutan baru. Penyebab pembukaan hutan belum dapat diidentifikasi karena lahan yang terbuka belum dimanfaatkan hingga akhir periode pengamatan. Berdasarkan laporan Kendari Pos, aktivitas pembukaan lahan pada kawasan hutan di Desa Loka dan Kecamatan Tolala cukup besar. Pembukaan hutan untuk kegiatan non-kehutanan juga disinyalir sebagai penyebab banjir bandang yang melanda Kabupaten Kolaka Utara di tahun 2018.

#3 Desa Usar, Kecamatan Plampang, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat: 38,65 Ha

Wilayah terindikasi #3 berada di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit XIV Ampang Plampang dengan tutupan hutan lahan kering sekunder. Pengamatan citra satelit menunjukkan hutan dibuka dalam luasan kecil-kecil dan berpola sporadis. Wilayah Nusa Tenggara memiliki kondisi iklim yang sangat kering sehingga pola pembukaan hutan seperti ini dapat terlihat seperti pertanian lahan kering pada musim tertentu dan dapat terlihat seperti semak belukar pada musim lainnya. Hingga akhir periode pengamatan, belum ada kegiatan penanaman di atas lahan yang dibuka tersebut.

Sebagaimana dilansir Mongabay, Plampang menjadi daerah rawan banjir karena hutan di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang tergerus oleh penebangan hutan ilegal dan perambahan hutan dengan penyebab utama perluasan lahan jagung – yang merupakan salah satu komoditas unggulan NTB. Kepala KPH Ampang Plampang juga menyebutkan perambahan kawasan hutan untuk kebun jagung sudah dilakukan sejak tahun 2012-2013.

#4 Desa Tembalang, Kecamatan Tulin Onsoi, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara: 34,74 Ha

Wilayah terindikasi #4 berada dalam kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit IV Nunukan dengan tutupan hutan lahan kering sekunder. Pembukaan hutan ini berbatasan dengan wilayah konsesi IUPHHK-HTI di bagian tenggara dan izin usaha perkebunan kelapa sawit di bagian barat daya. Pengamatan citra satelit menunjukkan pembukaan hutan terjadi dalam luasan yang tidak terlalu besar dan pola yang tidak teratur, serta merupakan kelanjutan dari pembukaan hutan sebelumnya. Peruntukan pembukaan hutan belum dapat diidentifikasi karena belum dimanfaatkan hingga akhir periode pengamatan.

Wilayah KPHP Unit IV Nunukan juga muncul pada Pantau Jejak edisi sembilan sebagai wilayah terindikasi #4. Kasus penebangan hutan ilegal beberapa kali dilaporan terjadi di Kabupaten Nunukan. Misalnya, akhir Juni 2020, media melaporkan temuan tumpukan kayu yang disinyalir hasil penebangan ilegal.

#5 Desa Engkitan, Kecamatan Ketungau Tengah, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat: 30,69 Ha

Wilayah terindikasi #5 berada di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sintang Utara dengan tutupan hutan lahan kering primer. Pola pembukaan hutan berukuran kecil dan tersebar di sisi jalan yang diduga merupakan jalan logging. Wilayah ini berbatasan langsung dengan kebun monokultur skala kecil. Namun demikian, peruntukan pembukaan hutan belum dapat diidentifikasi secara pasti karena lahan belum ditanami hingga akhir periode pengamatan.

Isu tata guna lahan di Kabupaten Sintang sarat dengan persoalan tata ruang. Lima puluh empat (54) desa dilaporkan berada di kawasan hutan lindung. Kecamatan Ketungau Tengah termasuk yang pernah dilaporkan sebagai salah satu kecamatan yang menghadapi tantangan besar pembangunan karena status kawasan hutan, termasuk untuk pertanian dan perkebunan.

Langkah Selanjutnya

Daftar Kelima Wilayah Teratas tersebut masih berupa indikasi, yang dihasilkan dari analisis menggunakan sejumlah instrumen yakni GLAD Alert, Peta Status Kawasan Hutan, dan Peta Tutupan/Penggunaan Lahan. Namun demikian, hasil analisis ini dapat menjadi petunjuk dalam menentukan wilayah hutan prioritas untuk dipantau dari ancaman penebangan ilegal. Berikut ini langkah-langkah yang perlu ditempuh sesegera mungkin oleh para pihak yang berwenang.

1. Verifikasi Lapangan dan Tindakan untuk Mencegah Perluasan Kegiatan Penebangan Hutan Ilegal di Kelima Wilayah Terindikasi.

Kelima Wilayah Terindikasi perlu untuk untuk ditindaklanjuti dengan verifikasi lapangan. Pada edisi ini, wilayah terindikasi #1 perlu menjadi perhatian khusus karena berlokasi di kawasan hutan lindung serta merupakan perluasan dari pembukaan sebelumnya yang terekam pada tiga edisi Pantau Jejak sebelumnya. Selain itu, ini merupakan kali kelima Kabupaten Banyuasin masuk dalam lima wilayah teratas terindikasi penebangan hutan ilegal. Hal ini mengindikasikan perlunya upaya yang lebih serius untuk melihat pola kelola lanskap Kabupaten Banyuasin.

Institusi yang berwenang dalam perlindungan kawasan hutan di kelima wilayah terindikasi, yaitu unit-unit KPH terkait, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Dinas Kehutanan Provinsi setempat, dan Kepolisian setempat, secara kolaboratif perlu segera melakukan verifikasi lapangan dan tindakan pencegahan terhadap perluasan penebangan dan pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal.

Urun daya masyarakat setempat dengan memberikan informasi dari lapangan juga dapat memperkuat proses verifikasi tersebut. Jika verifikasi lapangan tidak dilakukan dengan segera, dikhawatirkan penebangan hutan ilegal akan semakin masif dan dampak negatif kerusakan lingkungan tidak dapat terelakkan. Semakin luas kawasan hutan yang telah dibuka dan dimanfaatkan untuk kegiatan non-kehutanan, upaya penanggulangan dan pemulihan akan semakin sulit dilakukan.

2. Setelah Verifikasi Lapangan Dilakukan, Upaya Penanganan Harus Mempertimbangkan Aspek Sosial-Ekonomi Masyarakat Setempat.

Indikasi penebangan hutan di wilayah-wilayah terindikasi tersebut sarat dengan kegiatan ekonomi masyarakat berskala kecil. Oleh karena itu, setelah verifikasi dilakukan, upaya penanganan perlu mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat. Mekanisme penanganan yang dilakukan sebaiknya mempertimbangkan berbagai opsi skema penyelesaian konflik, opsi pengelolaan wilayah melalui perhutanan sosial, reforma agraria, disertai dengan upaya penegakan hukum yang adil. Tidak hanya itu, penelusuran pelaku juga perlu dilakukan sampai kepada dalang (pelaku intelektual dan pemilik modal) yang mengambil keuntungan dari kegiatan penebangan hutan secara ilegal tersebut.