Pantau Jejak Penebangan Hutan Ilegal Edisi Kesebelas: Lima Wilayah Teratas untuk Dipantau
Edisi Kesebelas ini menyajikan 5 Wilayah Teratas untuk Dipantau yang terindikasi mengalami penebangan hutan ilegal selama periode 1 Juli – 30 September 2020. Pantau Jejak menggunakan metode dan data GLAD Alert dari Global Forest Watch yang dianalisis setiap tiga bulan.
#1 Desa Persiapan Rababaka, Kecamatan Woja, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat: 148,50 Ha
Wilayah terindikasi #1 berada dalam kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit XIX Nusa Tenggara Barat dengan tutupan hutan lahan kering sekunder. Wilayah ini merupakan perluasan pembukaan hutan yang terjadi di dua edisi Pantau Jejak sebelumnya, yaitu wilayah #2 edisi 7 dan wilayah #4 edisi 8. Pembukaan hutan terjadi secara bertahap dengan luasan pembukaan yang relatif kecil. Pengamatan citra satelit menunjukkan adanya pertanian lahan kering di bagian barat wilayah pengamatan. Penyebab pembukaan hutan belum dapat dipastikan karena hingga akhir periode pengamatan lahan yang dibuka, baik pembukaan baru maupun pembukaan sebelumnya, belum dimanfaatkan. Munculnya wilayah terindikasi di Desa Persiapan Rababaka untuk ketiga kalinya menunjukkan indikasi penebangan hutan ilegal secara berlanjut di Desa tersebut.
#2 Desa Teluk Kepayang, Kecamatan Kusan Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan: 98,82 Ha
Wilayah terindikasi #2 berada di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit VI Tanah Bumbu dengan tutupan hutan lahan kering sekunder. Pembukaan hutan terjadi dekat dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) di wilayah utara dan konsesi kebun kelapa sawit di wilayah selatan. Hasil pengamatan citra satelit mengindikasikan adanya area pertambangan di bagian selatan wilayah #2, dan beberapa jalan logging yang menghubungkan pembukaan baru dan pembukaan lama di sekitar wilayah #2. Lahan yang dibuka belum dimanfaatkan sampai dengan akhir periode pengamatan, sehingga tujuan pembukaan hutan belum dapat diidentifikasi.
Sejalan dengan temuan wilayah terindikasi #2 ini, pada bulan Agustus 2020, diberitakan bahwa Masyarakat Mitra Polisi Kehutanan (MPP) di wilayah Kecamatan Kusan Hulu berhasil mengamankan truk-truk yang membawa kayu ilegal. Namun demikian, berita tersebut menyebutkan bahwa pihak berwenang seperti KPH Kusan dan Kapolsek Kusan Hulu belum mengetahui persis mengenai kejadian tersebut dan belum ada keterangan mengenai lokasi dari mana kayu tersebut berasal.
#3 Desa Upang Marga, Kecamatan Air Salek, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan: 76,95 Ha
Pembukaan hutan kembali terjadi di Kabupaten Banyuasin. Wilayah terindikasi #3 berada dalam kawasan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (UPTD KPHL) Wilayah III Palembang-Banyuasin dengan tutupan hutan mangrove sekunder. Pembukaan hutan ini merupakan perluasan dari wilayah #1 edisi 10 yang terletak di sebelah timur. Ini adalah kali kelima wilayah Banyuasin muncul dalam laporan Pantau Jejak, sebelumnya muncul sebagai wilayah #1 edisi 10, wilayah #3 edisi 6 dan edisi 5, dan wilayah #5 edisi 3. Pengamatan citra satelit menujukkan pola pembukaan hutan yang masih sama dengan sebelumnya, yaitu dilakukan dalam blok-blok teratur yang terhubung dengan jaringan jalan. Pengamatan citra satelit menunjukkan lahan yang dibuka sejak dua tahun lalu dan yang baru dibuka belum dimanfaatkan sampai dengan akhir periode pengamatan. Di bagian selatan wilayah #3 ini juga terlihat adanya kebun kelapa sawit. Kemunculan wilayah terindikasi #3 ini menunjukkan indikasi adanya penebangan hutan ilegal yang berlangsung terus-menerus di UPTD KPHL Wilayah III ini.
#4 Desa Nanga Pak, Kecamatan Sayan, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat: 69,84 Ha
Wilayah terindikasi #4 berada dalam kawasan KPHP Unit XXIV Melawi dengan tutupan hutan lahan kering sekunder. Pembukaan hutan ini dekat dengan wilayah IUPHHK-HTI di bagian tenggara dan barat laut. Pengamatan citra satelit menunjukkan pembukaan hutan ini terjadi dalam blok-blok kecil yang tersebar di sisi jalan logging yang terhubung dengan jalan besar. Pembukaan hutan dilakukan di area yang berbatasan dengan pembukaan hutan sebelumnya. Penyebab pembukaan hutan belum dapat dipastikan karena lahan yang dibuka belum dimanfaatkan sampai dengan akhir periode pengamatan.
Penelusuran literatur secara daring tidak menemukan laporan aktivitas penebangan hutan ilegal di wilayah terindikasi #4. Namun demikian, pada akhir 2020, peredaran kayu ilegal di Kabupaten Melawi diberitakan cukup masif.
#5 Desa Sanjango, Kecamatan Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat: 69,57 Ha
Wilayah terindikasi #5 berada di wilayah KPHP Unit IV Karossa dengan tutupan hutan lahan kering sekunder. Pengamatan citra satelit menunjukkan pembukaan hutan dilakukan secara tebang pilih di area yang berbatasan dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA). Hingga akhir periode pengataman, belum dapat diidentifikasi secara pasti peruntukan penebangan hutan ini.
Tidak ada pemberitaan terkini mengenai aktivitas penebangan hutan ilegal di wilayah #5, akan tetapi sebuah hasil penelitian di tahun 2017 menunjukkan bahwa sulitnya akses jalan ke dalam hutan dan kurangnya personil polisi kehutanan merupakan hambatan pemberantasan penebangan hutan ilegal yang masih terjadi di wilayah KPH Karossa.
Langkah Selanjutnya
Daftar Kelima Wilayah Teratas tersebut masih berupa indikasi, yang dihasilkan dari analisis menggunakan sejumlah instrumen yakni GLAD Alert, Peta Status Kawasan Hutan, dan Peta Tutupan/Penggunaan Lahan. Namun demikian, hasil analisis ini dapat menjadi petunjuk awal dalam menentukan wilayah hutan prioritas untuk dipantau dari ancaman penebangan ilegal. Berikut ini langkah-langkah yang perlu ditempuh sesegera mungkin oleh pihak yang berwenang.
1. Verifikasi Lapangan dan Dilanjutkan dengan Tindakan untuk Mencegah Perluasan Kegiatan Penebangan Hutan Ilegal di Kelima Wilayah Terindikasi
Kelima Wilayah Terindikasi perlu ditindaklanjuti dengan verifikasi lapangan. Pada edisi ini, terdapat wilayah terindikasi #1 dan #3 yang perlu menjadi perhatian khusus. Keduanya berlokasi di kawasan hutan lindung serta merupakan perluasan dari pembukaan sebelumnya yang muncul dalam beberapa edisi Pantau Jejak sebelumnya. Selain itu, ini merupakan kali ketiga untuk Kabupaten Dompu dan kali keenam Kabupaten Banyuasin masuk dalam lima wilayah teratas terindikasi penebangan hutan ilegal. Hal ini mengindikasikan perlunya upaya yang lebih serius untuk mencermati tata kelola dan manajemen lanskap Kabupaten Dompu dan Banyuasin.
Institusi yang berwenang dalam perlindungan kawasan hutan di kelima wilayah terindikasi, yaitu unit-unit KPH terkait, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Dinas Kehutanan Provinsi setempat, dan Kepolisian setempat. Instansi-instansi ini bersama dengan elemen masyarakat perlu meningkatkan upaya verifikasi lapangan dan tindakan pencegahan terhadap perluasan penebangan dan pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal. Urun daya masyarakat setempat yang memberikan informasi dari lapangan juga dapat memperkuat proses verifikasi tersebut, salah satunya dengan membentuk Masyarakat Mitra Polisi Kehutanan (MMP), seperti yang diberitakan pada wilayah #2. Program MMP telah dijalankan di beberapa wilayah, salah satunya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. MMP memerlukan peningkatan kapasitas dan keterampilan secara berkala agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam membantu tugas Polisi Kehutanan.
Jika verifikasi lapangan tidak dilakukan dengan segera, dikhawatirkan penebangan hutan ilegal akan semakin masif dan dampak negatif kerusakan lingkungan tidak dapat terelakkan. Semakin luas kawasan hutan yang telah dibuka dan dimanfaatkan untuk kegiatan non-kehutanan, upaya penanggulangan dan pemulihan akan semakin sulit dilakukan.
2. Setelah Verifikasi Lapangan Dilakukan, Upaya Penanganan Harus Mempertimbangkan Aspek Sosial-Ekonomi Masyarakat Setempat.
Indikasi penebangan hutan di wilayah-wilayah terindikasi tersebut sarat dengan kegiatan ekonomi masyarakat berskala kecil. Oleh karena itu, setelah verifikasi dilakukan, upaya penanganan perlu mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat termasuk alternatif-alternatif penghidupan yang dapat dikembangkan. Mekanisme penanganan yang dilakukan sebaiknya mempertimbangkan berbagai opsi skema penyelesaian konflik, opsi pengelolaan wilayah melalui perhutanan sosial, reforma agraria, disertai dengan upaya penegakan hukum yang adil. Tidak hanya itu, penelusuran pelaku juga perlu dilakukan sampai kepada pelaku intelektual dan pemilik modal yang mengambil keuntungan dari kegiatan penebangan hutan secara ilegal tersebut.
3. Bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Setempat dan Organisasi Masyarakat Pemantau Hutan.
WRI Indonesia telah memperkenalkan berbagai macam data dan tool yang digunakan dalam analisis Pantau Jejak ini kepada staf Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), organisasi masyarakat, dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan di berbagai wilayah untuk bekerja sama dalam melakukan pemantauan hutan guna mencegah pembalakan liar.